membunuhmu

saat detik terakhir meregang nyawa
akan kuhela sebilah nafas setajam pisau
kupastikan ia mati dan berlalu
seakan itu kamu

saat detik terakhir jatuh, gagal mengudara
akan kubiarkan ia bersuara
sebagai ganti jeritmu, kupastikan ia menderita
meraung dalam angkara

ada batas tipis antara mencinta dan membenci
sama seperti melupakan dan mencari
di satu titik mereka lebur
di satu titik mengulur
mengukur dan berdansa
terdiam
tersentak dan binasa

aku ingin membunuhmu
seperti duka yang diamdiam resap
kan kubakar kau hingga menjadi asap

menunggu sahabat

kali ini tak peduli seberapa jauh kuuntai kata
kau tak ada
kita tak lagi di balik jendela yang sama
kau terluka dan pergi meniada
sejenak, pintamu, dan kuberi kau waktu
akan kutunggu walau janjimu berlalu
sebab kali ini giliranku, sahabat,
atau kali ini tak layak kupanggil diriku satu?

tiga satu

sayang, kelak gumam ini pun akan tenggelam
bila hari ini usai biarkan aku lupakan
sebelum debu menjadi kenangan
dan sentuhan terekam untuk sewaktu menerkam
sayang
sayang
sayang
berulang kuucapkan, berulang kau lupakan
aku tiga satu
masih menunggu
setahun lagi berlalu.

spons

Setelah dipikir-pikir lagi, gw merasa diri gw mirip spons. Spons mungkin bukan kata yang tepat, sih, tapi paling tidak mendekati karakteristik gw.

Kalau ditanyakan ke orang-orang, biasanya opini yang mereka bentuk tentang gw bisa berbeda-beda dan sangat bergantung pada seberapa banyak yang mau gw tunjukkan atau seberapa kenal mereka dengan gw. Satu hal yang pasti diketahui orang yang cukup dekat dengan gw adalah bahwa gw merupakan orang yang berpendirian, jadi jelas spons tidak berarti gw punya karakter yang mudah mencla-mencle atau terbawa arus, ini soal yang lain.

Gw sering mendefinisikan orang-orang yang berteman dengan gw adalah orang yang aneh, tapi gw rasa istilah itu kurang tepat. Uniknya keterlaluan mungkin lebih tepat. Sebagian besar punya karakteristik yang serupa: keunikannya kurang bisa diterima lingkungan sekitar. Orang-orang yang demikian itu yang biasanya pertemanannya dengan gw awet dan dekat. Mungkin salah satu sebabnya adalah gw merasakan hal yang sama. Paling tidak dulu. Mungkin gara-gara itu juga seringkali gw bermanfaat sebagai tempat sampah, sebuah jabatan kehormatan buat gw untuk dipercaya mendengar curhat atau keluh kesah mereka. Sayangnya (dan gw telat menyadari) gw adalah spons, tipe pendengar yang bersimpati, bukan cuma berempati. Gw menyerap emosi si penc(d)erita, meresapi ceritanya, bahkan tidak jarang gw menangis cuma karena teringat cerita mereka dalam waktu dekat.

Tidak cuma urusan curhat dan teman yang kadang membuat gw kewalahan, berita dan cerita juga gw resapi seutuhnya. Gw bahkan pernah menangis heboh setelah membaca salah satu buku bergambar karangan Shel Silverstein. Pemandangan sekilas pun bisa membuat gw kepikiran dan terbawa emosi. Ini sangat salah, gw tahu, dan gw masih mencari cara yang sesuai agar emosi gw lebih mudah distabilkan. Salah satu sahabat gw menawarkan diri untuk jadi tempat sampah gw 24/7, tapi gw enggan. Pertama, karena kalau labilnya emosi gw terkait curhat orang, gw tidak bisa melangkahi privasi dengan membaginya ke orang ketiga. Kedua, gw tidak ingin membebani sahabat gw sementara gw tahu dia sendiri harus berjuang untuk hal-hal lainnya yang sekarang masih membutuhkan fokus. Gw punya kebiasaan berbagi kisah dengan ibu gw, tapi lama-kelamaan gw merasa gw harus mengurangi beberapa hal yang kesannya membebani dan malah membuat khawatir beliau, terutama karena keegoisan gw seringkali tanpa gw sadari membuat beliau lelah hati tapi tetap memaklumi.

Tadinya Twitter dan blog gw maksudkan untuk membantu gw mengatasi emosi dan berbagi pemikiran (yang pasti bukan dengan makian), tapi sepertinya gw memancing komentar tidak enak dan salah duanya adalah dari sahabat dan salah satu orangtua gw. Jadi, gw beresolusi untuk mengurangi aktivitas meredam emosi di Twitter, tetapi menulis di blog masih akan gw teruskan. Tulisan di blog ini pun, sebenarnya, tidak murni saat gw kalut lalu gw tulis. Ada proses. Gw tidak segegabah itu main-main di dunia maya, tidak lagi.

P.S: Spons mengucapkan selamat hari Ibu!
Gw anak yang beruntung karena daya serap kasih sayang gw juga tinggi. :)

bayang wayang

kunantikan malam hari yang segenap sepi
waktu yang tepat untuk memeluk bayangmu erat
kau tak pernah ada nyata, maka aku mencipta
bukan dari tanah dan nubuat, namun
dari luka-lukaku yang menganga kau kubuat
dari kenangan nafasmu bergemeretak hangat

aku akan tinggal
menemanimu hingga hari berganti
memimpikanmu di siang hari dan kembali menanti
malam hari, tempat kau berada

rinduku tak lagi bernama

ketika kau ucapkan seribu rindu padanya
ingatlah aku yang pernah menanti seribu hari lamanya

di linikala kau berbicara lantang
'biar semua tahu aku cinta padamu' katamu menantang
kau gila ketika jatuh cinta
aku jatuh cinta karena kau gila
semudah itu dan sesulit itu
karena kau tak pernah mencintaiku
sementara aku bergeming mencintaimu

seharusnya jarak meregang rasa
namun kali ini ia tak punya kuasa
seharusnya kala menghapus lara
namun kali ini ia pun enggan bersabda
aku masih
namun tak pernah cukup untukmu

kupukupu

inilah alasanku enggan mendekat
karena ketika kupegang erat kau sekarat

lupakan! jangan berjanji agar jangan kau mati
luka ini dan aku, kami satu
menunggu dalam kerapuhan, tapi bukan kamu

p.s: cukup aku yang meluka.
tak perlu kamu coba mendekat, aku takut bila
sayapsayapmu sampai tercekat lekat, sahabat!

november

1
ada batas tipis antara hujan dan airmata
namun hanya satu yang kuasa berdusta
untuk yang lainnya

2
setahun akan berlalu dan aku masih
seakan jarak tak cukup meregang rasa
setahun akan berlalu dan kau masih
menjadi luka yang mengembara
melintas dalam mimpi dan nyata

3
setahun akan berlalu, tapi buat apa?
aku masih menari di bawah hujan yang sama
langit yang sama
cinta yang sama

ikan malam

seperti ikan malam kita berkelana
dalam suram muram yang bercabangcabang
mencari dalam temaram cahaya yang menggantung di kepala
penuntun hati, kendara jiwa
harus ke mana? namun suara balik bertanya
harus ke mana?

kami tersesat tak hendak pulang
kami ingin sampai ke sebuah tujuan

namun ke mana?
kali ini tanya tak berbalas
deru waktu acuh melaju melindas
segala

tak ada pilihan, kita tak kuasa
mari teruskan perjalanan
hingga kala hendak membuka suara
yang kini bungkam menjaga rahasia:
tujuan akhir kita

menunggu

yang tak pernah kau mengerti adalah
aku bukan penggenap
aku senantiasa menunggu untuk mendekap
menantikan sayap-sayap patahmu terbang mendekat meski
hanya untuk sejenak

katamu: ini aku, dukaku, lukaku, hiburlah aku!

jawabku: ini aku, diriku, selalu segenap
bersiap merengkuh dirimu sepenuh walau yang kupunya mungkin hanya sepenggal.
datanglah padaku.

yang tak pernah kau sadari adalah
ketika lukamu menjelma lukaku dan sepotong rindu
kemudian aku yang terus menantimu
namun kau terus ragu untuk berpulang padaku

insomnia

aku takut terlelap hanya untuk melihatmu terjaga dalam mimpiku.

aku, kala

aku, kala
detakku menjadi detik yang menemani tiap hela nafasmu
yang kemudian menjadi detakmu juga
aku tak bisa berhenti, maka kaukejar aku sekuat tenaga
kita mengalir bersama

aku, kala
kini kau tua renta
kaubilang aku pembawa duka
kau berhenti mengiring
sekarang tinggal aku
tergiring

aku tak bisa berhenti, sayang
juga tak kuasa membencimu
maka kukirimkan airmata dan sebuah doa
kepada keabadian, kekasih barumu

yang kalut yang semrawut

Bukannya tidak mau menerima konsekuensi, gw sadar kalau memutuskan menyayangi seseorang itu berisiko sakit hati. Gw juga tahu kalau mencintai itu katanya jangan sepenuh hati. Kata orang, itu cari perkara namanya. Gw juga sangat mengerti kalau tidak semua yang kita inginkan bisa didapatkan. Tetap, gw sekarang jadi gamang.

Di masa kritis menjelang kelulusan, ada dua hal yang gw pikirkan: keluarga dan jodoh. Pendidikan profesi gw akan menjauhkan gw dari yang satu dan mempersulit urusan yang kedua. Tanpa disadari, nanti, begitu selesai melengkapi pendidikan yang gw butuhkan, gw akan berada di pertengahan usia 20 dan 30 tahun. Sejuta 'bagaimana kalau' langsung menghantam kepala. Salah satunya: bagaimana kalau gw masih saja sendiri?

Beberapa orang bilang standard gw ketinggian. Tapi standard gw sebenarnya cuma orang yang mau gw perjuangkan, memperjuangkan gw, dan sama-sama berjuang buat relasi yang serius. Gw harus mengakui gw lelah memperjuangkan orang-orang yang ternyata bukan untuk gw. Mungkin ini gara-gara kelemahan gw juga, gw tidak mengerti konsep 'jangan 100% dalam menyayangi' atau konsep 'coba-coba / jalani dulu aja lah'.

Gw tidak siap untuk sakit hati lagi. Paling tidak belum.
Gw lebih siap untuk sendiri dulu ketimbang berharap dan patah lagi.
Tapi lagi-lagi gw bertanya: apakah gw sedang membohongi diri?
Karena makin lama jujur pada diri sendiri menjadi salah satu hal tersulit yang harus gw lakukan.

kalau

Seandainya, kalau, dan andai.
Entah sudah berapa kali kugumamkan dalam hati, di bibir, seiring denyut dan nafasku yang terputus-putus saat aku menangis. Di pergantian hari yang katanya sungguh bermakna ini: 11-11-11, entah kenapa harus kudengar juga andai-andai yang kupikir takkan kudengar lagi.

Seandainya aku memutuskan untuk bersamamu waktu itu semua pasti tak akan begini, itu katamu.
Kita tidak akan sama-sama maraton patah hati dengan orang yang kita jatuhcintai.
Kita tidak akan sama-sama mengeluhkan kesendirian yang kita resapi.
Kita tidak akan takut menitipkan harap pada sebuah hati, pada yang kita sayangi.

Ada sedikit takut ketika kamu ucapkan kata-katamu subuh ini setelah tahun-tahun yang telah berlalu.
Ada sedikit kecewa ketika aku tahu kamu ucapkan itu padahal kamu baru saja memutuskan enggan sendiri, kamu memilih berdua.

Bukan, aku bukan cemburu, karena dalam hati kamu selalu sahabatku.
Aku hanya resah karena kata-katamu: tak ingin menaruh harap.
Sejak kapan kamu begitu mudahnya bermain hati?
Katamu kau takut sakit hati, tapi bukankah kita sama-sama tahu risiko dalam mencari belahan hati?

Kalaumu menyebabkan galauku.
Kalaumu mengingatkanku akan keterlupaan yang kubuat.
Akan kalauku.

Lalu kini kurenung, masih adakah seseorang yang pantas kupanggil lelaki sejati?

dewasa

Apa artinya menjadi dewasa?
Kalau menjadi dewasa artinya harus membuang cita-cita,
berhenti membaca buku dan film yang berisi dongeng,
berhenti melakukan permainan anak-anak,
betapa sempitnya arti sebuah kedewasaan!

Berkali-kali gw mengatakan gw ingin menjadi dewasa, tapi sekarang gw berada dalam kegamangan. Sebenarnya apa arti menjadi dewasa? Ya, bertanggungjawab termasuk di dalamnya, kemudian apa?  Kalau dengan gw melakukan semua hal yang gw tuliskan di atas lantas gw dicap kekanak-kanakan dan tidak dewasa, lalu bagaimana dengan orang yang tidak tepat janji, yang hanya bisa mencela, dan bermuka dua? Apa sebutan mereka? Karena buat gw, orang-orang yang demikianlah yang pantas dikatakan kekanak-kanakan dan bermental kerdil. Tapi nyatanya, bagi beberapa orang, hal-hal tersebut adalah hal yang hanya diperbolehkan dan merupakan indikator menjadi 'dewasa',

Seandainya menjadi diri sendiri merupakan hal yang wajar di masyarakat kita, gw ga akan takut kesepian. Gw ga akan takut sendirian.

seorang gadis berjalan di tepian malam

1
betapa mengerikan ketika luka menjadi bunga
kemudian kata menjadi duka

2
di hulu waktu aku mencari rindu
ah, mengapakah ia tinggal padahal sempat ia kuhanyutkan
mungkin sungai ini telah memutar
ataukah laut kini terlantar semenjak
ia tak sudi menerima luapanmu?
atau mungkin sudah terlalu banyak rindu
dilarung oleh banyak hati yang membeku

3
sejenak aku mencarimu dalam tirai malamku
tak kuingat kini kau telah menjadi bunga
aku hanya butuh meluka untuk membuatmu ada

tentang sebuah kicauan

Ini adalah, seperti malam-malam yang pernah ada, malam insomnia. Sebenarnya, sih, tidak tepat dikatakan insomnia karena gw bisa tidur seandainya gw mau, tapi gw terlalu gelisah dan ga punya keinginan tidur. Jadi, sebagai gantinya gw rasa gw harus menulis. Lagi.

Gw ga berhak, sih, untuk menilai orang lain, karena 'gw sendiri ga kebagusan', tapi baru-baru ini ada sebuah hal yang membuat gw gatal buat berkomentar. Dan gw harus menahan diri untuk ga melakukan itu. Salah seorang teman gw membuat kicauan di Twitter tentang keluarganya yang bermasalah, dia juga mengatakan bahwa kita ga akan mengerti masalah dia dan adalah hak dia untuk mengeluarkan uneg-unegnya di media sosial itu, dan lain sebagainya. Pada saat gw membaca beberapa kicauannya itu, secara spontan terbentuk komentar-komentar nyinyir di kepala gw yang meronta minta dikeluarkan. Seandainya saat itu gw dalam versi tanpa filter, gw ga tahu apa yang sudah terjadi sekarang. Mungkin gw dan dia sudah adu mulut.

Ini adalah pikiran gw: gw setuju dengan omongannya bahwa itu adalah masalah dia (juga bahwa kita memang ga akan ngerti secara menyeluruh masalah orang lain) dan dia punya hak untuk mengekspresikan kekesalannya. Gw setuju bahwa seringkali orang menilai tanpa mau memahami dan bahwa setiap orang memiliki cara untuk menyalurkan perasaan, tapi buat gw caranya terasa salah. Pada salah satu kicauannya dia bilang dia sangat sayang ibunya dan bahwa ibunya adalah 'korban,' terus kenapa dia lanjut mempermalukan ibunya dan keluarganya dengan membeberkan sekilas info yang termasuk hal pribadi itu di media sosial? Gw mungkin salah, tapi dalam pandangan gw sungguh ini hal yang tidak pantas. Dengan menuliskan hal tersebut apakah kemudian ada jalan keluar yang timbul? Ga. Orang juga enggan berkomentar masalah sensitif semacam itu. Di sisi lain, orang yang sudah menjalani hal dirasa lebih berat pasti mencibir juga. Sisanya hanyalah balasan yang isinya 'turut prihatin'. Apa enaknya dikasihani? Jadi buat apa melakukan hal yang sia-sia? Sekedar uneg-uneg kalau cuma berhenti jadi uneg-uneg dan ga bisa diselesaikan dengan jalan dicurahkan ke publik, ya lakukanlah di buku harian yang tertutup.

Ini adalah kejujuran gw: gw ga tahu kenapa gw menuliskan ini, mungkin karena sebagian dari diri gw iri dengan caranya melepaskan keluh-kesah (yang gw rasa tidak sesuai nilai yang gw pegang) sementara sebagian diri gw yang lain mencemooh hal tersebut. Yang mana? Gw masih belum bisa memutuskan. Gw terlalu lama 'menjadi anak baik-baik', kadang gw lupa sejauh mana gw layak berkomentar dan menempatkan diri.

terus melangkah

Fenomena kilas balik atau flashback adalah sebuah fenomena yang kadang dialami pecandu yang berusaha menghentikan kecanduannya. Suatu saat, ketika ia merasa telah sukses berhenti, ia seperti ditarik mundur dan mengingat kenikmatan dalam pemenuhan kebutuhan tidak sehatnya.

Gw rasa itu yang gw alami malam ini.
Hanya karena dua buah tangan dan sebuah wajah.
Dan beberapa gelang karet.

Gw menjadi kangen untuk merasakan rindu.
Untuk merasakan pedihnya rasa kehilangan.
Untuk merasakan sesaknya mengingat.

Segaris tipis batas dan gw akan terjatuh lagi, tapi bukan malam ini.
Dan semoga tidak akan lagi.
Gw mencukupkan diri dan menarik garis. Di titik ini gw berdiri dan gw tidak akan kembali.

Kata orang saat nyaris mencapai tujuan, tetiba tantangan terasa lebih berat dan tak tertahankan.
Bukan langkah cepat yang dibutuhkan kemudian, tapi tekad dan ketekunan. Itulah yang akan gw lakukan. Terus melangkah walau terkadang ingin berlari kembali.

Terus, terus, terus melangkah.


Kamu candu, bahkan ketika wujudmu adalah rindu.
Bahkan ketika aku mencoba membencimu.

"memento mori"

mengapa masih kau tanya juga saat ia datang?

di sebuah pernikahan

Sekelopak mawar jatuh di sudut sepatu. Bukan, bukan sepatu berhak tinggi yang digilai wanita masa kini, hanya sepatu datar warna putih yang bersulam sederhana. Tapi mungkin kau takkan melihatnya karena mereka bersembunyi di balik sebuah gaun putih yang tidaklah megah. Mungkin yang kau perhatikan hanyalah wajah si wanita yang sumringah atau tangannya yang menyentuh lengan si pria lembut. Atau mungkin kau sedang sibuk memperhatikan wajah si pria yang tampak bangga dan sekilas geraknya membisikkan kata-kata ke telinga si wanita, yang takkan pernah kau tahu apa?

Andai adalah kata yang berbahaya, sayang, jadi jangan kau ucap.
Penyesalanmu terlambat.

tersesat

lamalama pulang menjadi kata asing
yang hanya bisa lamatlamat kuucapkan

dan kangen yang mengerat kemudian mencipta sekuncup
yang mekar menjadi benci yang berduri.

lagilagi sepi,
aku masih tak tahu cara untuk kembali.

rumah

suatu hari nanti saat kita tak lagi bertiga
tempat ini takkan pernah sama
tak peduli bagaimana kita mencoba

lalu akan terus kucari gelak tawamu yang takkan pernah kembali
dan getar suara dvd-nya di malam hari
atau momen di sebuah senja saat kita bertukar canda

namun kita sama-sama tahu
saat itu semua telah berlalu
yang tinggal hanya aku dan sebuah rasa bernama rindu.

ayah

Dalam ruangan itu aku terduduk, mendengarkan denyut statis dari alat yang tersambung ke tubuh ayahku. Ah, dia masih hidup, namun entah untuk berapa lama lagi.

"Kamu harus ingat, untuk selamanya dialah ayahmu. Sebab tak pernah ada yang namanya mantan ayah, sama halnya seperti mantan ibu atau mantan anak. Kalian selamanya akan menjadi ayah dan anak. Kamu harus ingat itu, ya? Kamu tidak boleh membenci ayahmu."

Terngiang ucapan ibuku di sebuah senja setelah kukatakan ingin kubunuh saja ayahku. Saat itu ibu memegang lembut kedua pipiku, memaksaku menatap wajahnya yang penuh air mata. Saat itu sungguh ingin aku bertanya bagaimana caranya ia bisa bertahan setelah semua yang ayah lakukan pada kami, padanya. Bagaimana ia bisa melarangku membenci ayah setelah ayah menginjak-injak hatinya, memilih berkelana dengan wanita yang lain dan menelantarkan anak istrinya? Tapi kata-kata itu urung kuucap. Sebagai gantinya aku mengangguk pelan, kemudian ibu dan aku larut dalam sebuah peluk erat, berusaha menepis kepedihan dalam hati.

Aku menatap sosok ayahku yang terbaring di kasur nyaman rumah sakit, hari ini genap seminggu ia tak sadarkan diri sejak jatuh di kamar mandi tepat di 5 tahun berpulangnya ibu. Kenapa aku ada di sini? Aku bertanya pada diriku. Kini setelah ibu pergi, bisa saja kutinggalkan ia sendiri. Sejenak kupandang wajah ayah yang telah mengeriput renta. Ia tampak tak berdaya, kalah oleh waktu dan usia. Kemudian entah darimana aku mendapatkan jawab atas tanyaku:

Inilah cinta. Inilah cinta yang memungkinkan ibu bertahan mendampingi ayah tanpa peduli deritanya, mengorbankan diri agar aku tak menahan malu dan pilu bila ketika itu mereka berpisah. Inilah cinta yang terikat oleh darah. Inilah cinta yang sampai akhir terus memberi. Aku, seperti ibuku, tak bisa lari: kami dilahirkan begini, untuk mencintai.

hujan setahun yang lalu

Aku memandang gerimis yang mulai turun, menetak-netak kaca mobilnya dengan manja. Sejenak pikiranku teralih. Untunglah ini sudah depan rumahku, pikirku sambil sekilas memandang pintu dari jendela tempat dudukku. Tapi aku tak juga beranjak turun. Kulihat dia menatap lurus ke depan, berusaha menghindari tatapanku yang menunggu.

"Kenapa susah sekali kau ucapkan?" ujarku, kemudian kubiarkan rintik hujan mengisi kesunyian. Dia mendesah, aku meliriknya sedang menggaruk kepala dengan tak sabar.
"Haruskah kuucapkan? Buat apa?"
Akhirnya dia angkat bicara juga.
"Supaya aku bisa berhenti mencintai. Paling tidak tolong bantulah aku sebagai seorang teman."
Dia bergerak gelisah, kulihat dia sedang menimbang-nimbang permintaanku.

Kumohon, bisikku dalam hati, katakanlah agar aku bisa beranjak pergi. Bukan hanya dari mobil ini, tapi dari perasaanku sendiri. Karena buatku cuma ada dua pilihan, biarkan aku tinggal atau berlalu. Pilihan yang egois, tapi jujur aku tak mampu lagi menjalani permainan ini.

"Aku benci sama kamu. Ah, tapi aku sebenarnya tidak mau ucapkan ini!"
Aku tersenyum simpul.
"Terima kasih," ucapku lirih.

Kubuka pintu mobil dan secepatnya bergerak menuju rumahku. Bukan gerimis yang kuhindari, gerimis tak bisa menyakitiku, aku tahu itu. Yang membuatku takut adalah mendung yang menyesakkan hati dan airmata yang tak tertahankan lagi. Ah, hujan, turunlah lebih deras dan temaniku berlari! Hari ini saja sembunyikan airmataku. Besok, aku janji aku akan tersenyum lagi karena semua akan berlalu. Ya, semua akan berlalu, seperti air mataku di dalammu.

di sebuah ranjang

Tuhan, kulihat semburat pilu
bercampur bayang-bayang hidupku
terus, terus membanjiri hatiku
sudah tibakah waktuku?

maka dengarkanlah doaku, Tuhan
bukan hidup yang kuminta
cuma sejumput nafas
dan akan kurelakan segala

sebab masih ada hadiah yang kutunda
dan tak mampu kuberi pada buah hati
demi gengsi, kataku, namun kini kusesali

"Bapak sayang padamu, Nak, selalu"
satu kalimat itu yang berkali-kali buat lidahku kelu dan urungkan niatku

Tuhan, kabulkanlah doaku.


******

"Halo, halo? Bapak sudah ga ada, Nak.
Sudah pergi."


******

sebuah airmata menetes di kejauhan
"Mengapa tak kau tunggu aku, Pak? Tak sayangkah kau padaku?"

di tepi jendela

untuk tujuh

di tepi jendela
selalu kita berdua
dulu

hari ini pun masih
entah sampai kapan

sebagai ganti esok yang tak dapat kulihat
bolehkah janjimu selalu ada terus kudekap?

pesan yang menampar

Hari ini gw mendapat kesempatan berkunjung ke RSKO (buat yang belum tahu, RSKO itu adalah Rumah Sakit Ketergantungan Obat) berkaitan dengan program studi yang sedang gw ambil sekarang, yaitu modul Adiksi. Gw dan teman-teman gw sudah menjalani modul ini sekitar 2 minggu dan secara umum kami sudah mulai mengerti mengenai ketergantungan obat mulai dari sejarah, mekanisme kerja obat hingga menimbulkan ketergantungan, kaitan ketergantungan sebagai penyakit otak, prinsip terapi dan rehabilitasi, sampai ke undang-undang yang mengaturnya. Jadi bisa dibilang hari ini adalah waktunya studi lapangan untuk membandingkan antara teori dan eksekusi program rehabilitasi di kehidupan nyata.

Tidak mudah buat gw belajar melepaskan stigma bahwa para pecandu bukanlah kriminal, mereka adalah korban. Korban dari masalah mereka sebelum hingga memakai zat terlarang sampai akhirnya zat-zat tersebut mengubah kerja otak mereka, membelenggu mereka hingga bahkan untuk mengendalikan diri pun mereka membutuhkan bantuan orang lain. Tidak mudah buat gw untuk tidak berprasangka dalam hati, bahkan setelah gw tahu mereka akan ada di sana untuk menjalani rehabilitasi demi menjadi diri sendiri lagi. Jujur, gw was-was.

Lukisan di tembok lapangan yang sering mereka pakai bertanding futsal  lawan warga sekitar. :)

Namun, ternyata kekhawatiran gw ga terbukti. Di sana kami dibawa berkeliling hingga ke 'primary home', rumah sementara para pecandu di sana. Salah besar kalau dikira sarana rehabilitasi adalah tempat bak rumah sakit serba putih yang kaku, sebaliknya, tempat itu dibuat senyaman mungkin dan para petugas medis tidak berseragam. Mereka menempatkan diri sebagai 'teman'. Salah besar kalau dalam bayangan kalian (seperti bayangan gw sebelumnya) kebanyakan pecandu akan tampak kesakitan, berantakan, kurus, dan mengerikan. Tadi gw berkunjung ke rumah mereka itu bertepatan dengan jam mereka selesai beribadah, mereka tampak rapi seusai menjalankan salat Jumat. Seandainya gw ga diberitahu, gw ga akan tahu kalau mereka pecandu. Dan salah besar juga kalau dikira rehabilitasi adalah upaya terapi secara fisik semata. Mereka di sana, seperti kata salah satu pecandu, belajar lagi bertanggungjawab dari hal-hal kecil, belajar membentuk ulang diri mereka sebagai pribadi yang positif dan mampu mengatasi kendala sehari-hari.

Kertas-kertas bertulisan kata-kata yang memotivasi mereka di dalam 'rumah' ( bukan, itu bukan foto wajah salah satu pecandu, itu adalah teman gw yang lagi sibuk mendengarkan keterangan perawat yang membawa kami berkeliling).

Kunjungan kami ditutup dengan sesi ngobrol dengan para pecandu. Teman gw mengutarakan pertanyaan, kira-kira bagaimana sih mereka sampai bisa mencapai sebuh titik balik hingga bisa memotivasi diri lagi untuk menjalani rehabilitasi dengan kemauan yang benar-benar dari diri sendiri. Jawaban mereka, senada, adalah pesan yang menampar buat gw:

"Titik balik gw adalah pada saat gw mau melihat kenyataan, pada saat gw berhenti lari dari kenyataan dan menghadapi masalah gw. Maksud gw, mau sampai kapan gitu lari, lari, lari terus? Ya, kan? Kita manusia hidup pasti punya masalah, kita harus sadar bahwa ga semua yang kita mau bisa kita dapetin. Jadi, ya, hadapin aja. Pada saat gw bisa menerima bahwa diri gw punya masalah, nah gw rasa itulah titik balik gw."

Gw menunduk malu saat itu, merasa diperingati, akhirnya gw berusaha berkaca lagi ke dalam diri. Siapalah gw ini berprasangka dan menghakimi mereka dalam hati, siapalah gw ini berusaha menjalani pendidikan untuk menolong mereka, tapi ternyata malah gw yang mendapatkan pesan inspiratif dari mereka tanpa mereka sadari? Gw ini jago berlari, berkali-kali gw menghindar dari masalah-masalah gw. Sementara mereka, memaksa diri bertahan di situ dan menghadapi masalah mereka yang berkali-kali lipat mengerikannya dari masalah gw karena mereka tahu percuma berlari. Karena mereka dengan berani berusaha berkenalan  dan menerima lagi diri mereka sendiri demi bangkit kembali. Karena mereka tahu betapa mahalnya sebuah kebebasan.


Gw menghela nafas panjang, lalu meringis kecil mengingat perjalanan hari ini. Ah, pesan, tamparanmu perih hingga ke nurani!

telur mata sapi

andai kita telur dadar pasti tak begini ceritanya
kita: telur mata sapi

kau kuning mencerahkan
kaulah pusat perhatian
buatku kau adalah mentari
senyummu mampu cerahkan hati

aku, putih telur yang berotasi
hanya mampu mengagumi
tak pernah sampai, hanya menyusuri

andai kita telur dadar pasti tak begini ceritanya
kita akan saling memeluk dan menggenggam,
kemudian akan kubisikkan sebuah janji: kau takkan kulepas lagi.

pada suatu hari...

Seperti biasa, hari ini pun taman kanak-kanakku penuh. Riuh, tapi jenis riuh yang selalu membuatku rindu untuk kembali lagi dan lagi ke sini. Perlahan kubuka pintu kelas yang catnya kian luntur, aku menarik nafas dalam. Aroma kayu tua, buku-buku usang, dan selapis tipis debu segera menghambur memasuki paru-paruku. Tersenyum lega, merasa pulang, aku memantapkan langkah memasuki ruangan. Mataku bergerak lincah menyusuri lukisan jari yang kami buat kemarin. Punyaku ikan, warnanya oranye pucat. Warna pasta yang kami gunakan. Padahal aku lebih suka kalau warnanya biru, mana tahu nanti saat besar dia jadi paus dan aku bisa menaikinya melintasi rawa di belakang taman kanak-kanakku.

Meneruskan ritualku setiap kembali ke sini, aku membuka pintu geser di sebelah sebuah panci besar. Aku mengintip ke dalam ruang bermain. Di sebelah kiri berdiri lemari masak-masakan, meja kecil, bangku mungil, dan peralatan masak-masakan yang duduk cantik di sebuah rak. Di sebelah kanan, di bawah tangga, balok-balok berdiam dalam kotak, siap dimainkan. Aku menghela nafas lega. Nah, sekarang waktunya melihat siapa yang sudah datang. Kuperhatikan ruangan, banyak yang asyik mengobrol, selalu banyak cerita dibagikan di tempat ini. Gemanya berpendar hangat melingkupi ruangan. Suara, cahaya, mereka satu.
 
Aku mulai penasaran, hari ini siapa yang akan menemaniku bermain? Sebulan lalu aku bagai kembar dempet dengan Alice, dia menceritakan perjalanannya yang luar biasa. Lain kali pasti kucari si Kelinci Putih, tekadku! Kemudian ada Peter yang menyenangkan, dia selalu jadi pahlawan kami semua, apalagi dia mau mengajari kami terbang. Asal jahilnya tidak kumat saja dan dia mulai bermain-main dengan bayangannya. Beberapa kali aku main masak-masakan bersama si Keong Mas atau berlomba lari dengan Timun Mas. Tapi aku tidak mau lomba lari dengan Dorothy, dia suka curang, sekali ketuk sepatu maka sampailah dia di ujung. Oh, dan aku suka sekali bermain ayunan dengan Frizz. Sekali tiup, angin berhembus membawaku ayunanku ke puncak. Kalau sudah lelah, aku akan mencari tempat nyaman dan terbangun dengan Rose, si Putri Tidur di sebelah.

Kadang aku menjenguk kolam di sebelah ruangan dan hampir pasti kudapati perdebatan kecil antara Toba dan Bawang Putih. Habis, ibu mereka sama-sama ikan. Setelah meributkan siapa yang mana, pasti mereka membandingkan lebih cantik siapa. Kalau sudah begitu Putri Salju akan datang dan melerai, kemudian menangis bilang dialah yang termalang, tidak punya ibu. Yang tidak kalah seru adalah ribut-ribut Hansel dan Gretel lawan Ciung Wanara. Hansel dan Gretel yang tidak mau tersasar lagi saat pulang selalu meninggalkan remah roti di sepanjang jalan, tapi ayam si Ciung pasti membandel, sengaja dipatuknya roti manis yang sudah ditebar hingga hilanglah segala jejak.

Ah, tapi belajar di kelas juga tak kalah menyenangkan. Menebak-nebak yang akan mengajar selalu bikin penasaran. Guruku pandai-pandai, lho. Chang Er mengajari kami mencocok bulan dengan pola kelinci, beliau memang sangat berbakat. Kalau beruntung kami bahkan bisa dikenalkan dengan tetangganya di sana, Putri Kaguya. Rumpelstiltskin mengajari kami memintal. Tiga serangkai Urdur, Verdandi, dan Skuld yang selalu mengajar di bawah naungan teduh Ygdrassill, membicarakan masa-masa dan kisah-kisahnya. Medusa yang pemalu sekaligus galak siap membantu untuk mengukir lempung dan memanggangnya jadi batu. Aduh, siapa lagi, ya...Ternyata nama guru selalu lebih susah diingat.

Lalu tiba waktu istirahat yang juga menyenangkan, kami akan makan bersama-sama di meja panjang dengan masakan sederhana nenek si Kerudung Merah setiap satu hari dalam seminggu. Keramaian bertambah karena banyak yang diundang: Kappa, keluarga Beruang, 7 kurcaci, para peri, dan tak lupa tengu serta para naga...

"Nak, hei, Nak.."
"Hah! Iya.."
"Bengong aja kamu, mikirin apa?"
Aku tersenyum simpul.
"Bukan apa-apa, kok, Yah."

Taman kanak-kanakku, tempat spesial di hatiku. Buka 24 jam dan bisa didatangi sewaktu-waktu.
Tapi, maaf, tidak boleh ada tamu dari dunia nyataku. :)


“Of course it is happening inside your head, Harry, but why on earth should that mean that it is not real?”
- Albus Dumbledore (Harry Potter and The Deathly Hallows)
*
"In every real man a child is hidden that wants to play"
  -Friedrich Nietzsche

sebuah pesan

"Bila aku menghilang, tolong cari aku"
adalah kata-kataku yang menguap karena gagal kuucap.

Selalu.

Kemudian yang kudengar
adalah gema langkah-langkah yang pergi menjauh.

(melanjutkan) gambar malam

Di posting sebelumnya, gambar malam, gw cuma menempelkan foto-foto dan kata-kata singkat karena gw buru-buru mau tidur tapi sedang dalam keadaan euforia. Saat itu gw ga mau kehilangan kesempatan untuk membuat postingan baru. Nah, di sini gw mau menjelaskan ada apa gerangan dengan gambar-gambar itu dan gambar-gambar di posting sekarang yang diambil hari Jumat lalu.

Sekitar 2 minggu lalu gw mendapatkan pesan dari salah satu seksi Dana Buku Angkatan/ Jalan-jalan Angkatan (iya, angkatan gw adalah angkatan tertua di kampus), isinya minta tolong dibuatkan desain kaos angkatan, ternyata mereka ada rencana mencari dana dengan menjual kaos angkatan versi II. Gw tanya lebih jauh, mau tema apa dan kapan deadline-nya? Bebas dan dikumpul dalam 2 minggu. Tapi...total 3 desain. Gw hobi gambar, tapi gw biasanya membuat gambar cuma untuk dinikamati diri gw sendiri atau orang-orang dekat gw. Terakhir kali berurusan dengan desain-mendesain di zaman SMA ( lebih dari 3,5 tahun lalu) dan itu pun desain sepele. Gw udah pengen bilang ga bisa aja, tapi dasar memang gw orangnya sakit kalau ga ambil tugas yang aneh-aneh, akhirnya gw mengiyakan. 

Gambar pertama aja udah sukses buat gw pusing. Gw pengen gambar logo Aesculapius, tapi gw baru inget kalau gw lemah dalam hal menggambar hewan (dan ular itu...susah digambar, apalagi mukanya). Hal lain yang membuat gw mabok adalah drawing pen. Dari dulu gw dan pen-berujung-jarum ga pernah jodoh, deh. Kebiasaan gw yang menulis atau menggambar dengan menekan pasti merusak pen semacam itu padahal gw butuh supaya, dengan ilmu Photoshop gw yang amat payah, lebih gampang membersihkannya saat diproses. Ga heran, donk, girangnya bukan main, bahkan waktu baru gambar pertama yang selesai.

Masalah lain ada pada mood gw yang labil. Menyalin dan merapikan ulang gambar pertama dan kedua (pita) membuat gw nyaris ga tidur semalaman gara-gara gw baru niat membuat jam 11 malam. Dan sekalinya gw kerja gw bisa lupa ngapa-ngapain. =__=

Gw lanjut menyelesaikan gambar ketiga ini di hari Kamis minggu lalu. Ini adalah tipe gambar yang sering gw buat waktu gw stress atau bosan. Tulisan besarnya 2008, angkatan gw, isinya adalah modul-modul dan beberapa tulisan yang terkait dengan masa-masa 3,5 tahun bersama. 
Karena gw paling jago meribetkan diri sendiri, gw jadi membuat 1 gambar lagi untuk melengkapi tulisan 2008 itu, gara-garanya gw tertarik melihat gambar-gambar 'unyu' di kaos salah seorang teman gw. Aduh! Sambil menunggu sahabat gw nyalon, gw duduk manis dan menggambar di salah satu resto sushi seberang kampus.



Waktu pun bergulir ke Jumat pagi (gw berhibernasi dari Kamis sore), hari gw memasang deadline pribadi untuk menyelesaikan gambar-gambar ini. Gw sudah bertekad semua harus selesai dan rapi sebelum masuk kuliah pukul 11 pagi.

 
Numpang lewat...di tengah kehebohan memburu-buru diri sendiri, gw masih sempat melakukan hal random, seperti membuat gambar ini!


Dan melanjutkan hal yang paling gw benci, menyalin ulang dan menimpanya dengan drawing pen.

Jam menunjukkan pukul 11 tepat waktu gw selesai merapikan gambar terakhir, pohon,  di Photoshop. Gw baru berangkat ke kampus pukul 11.20 dengan lari-lari (pas sampai, gw habis nafas dan lutut gw gemetaran) hanya untuk kuliah yang berlangsung sampai pukul 11.45.Benar-benar ga terlupakan! Hahaha..

Gw menikmati sekali kerjaan semacam ini. Lepas dari bagaimana nasib gambar-gambar ini nantinya, entah mereka jadi direalisasikan dalam bentuk kaos angkatan atau tidak. Sudah lama gw ga menikmati sensasi 'deadline' dan excuse cantik untuk menggambar, jadi gw bersyukur untuk waktu-waktu gila yang gw lewati minggu lalu itu.

Sekarang, fokus belajar ujian! ;)

menyusun kisah untuk kasihku di kemudian hari

merapatlah, kawan
aku akan mendongeng di lini masa 

sejenak izinkan aku melupakan kicauan kalian
tentang macet yang melanda
atau kuliah yang tertunda
karena sesungguhnya kalianlah para artis utama

biar kutuangkan kata-kataku yang haus menambat
biar kugoreskan rinduku dalam bahasa
karena aku sedang menguntai cerita

ini tentang rinduku untuk menemukan
ini tentang hasratku untuk ditemukan
ini adalah kisah yang kusimpan, untuk jodohku di masa depan
agar nanti dapat kukatakan padanya:

'lihatlah apa yang kusimpan di lini masaku,
segala kata itu kusiapkan hanya untukmu
agar kau tahu
rasanya menunggu untuk mencintai, asaku menunggu untuk dicintai.'

melihat ke belakang dan mengingat

Selalu ada ketakutan setiap kali kita, manusia, dihadapkan pada suatu hal yang baru. Berkenalan dengan seseorang, atau sesuatu merupakan pisau bermata dua: membawa manfaat atau menjatuhkan kita.
Di sisi lain, gw selalu percaya bahwa seseorang itu seperti kuas. Perkenalan akan membawa banyak warna dan, tergantung dengan kuat atau tidaknya warna itu melekat, kuas itu pasti akan memiliki semburat khas karena perkenalan dan pertemuan, pengalaman dan perpisahan.

Ada beberapa perkenalan yang berkesan di hidup gw, kebanyakan berkesan karena membuka pandangan gw akan sesuatu yang baru, yang kemudian (menurut istilah gw) mengguncangkan dunia gw. Pertemuan yang sering gw kenang terjadi sekitar 5 tahun lalu, saat gw masih di bangku SMA. Gw ga begitu ingat, sih, awalnya bagaimana, yang gw ingat adalah omongannya yang pertama kali mengingat gw sebagai 'si adik kelas yang datang telat ke rapat dan mukanya seperti kelinci'. Sementara gw meningat dia sebagai 'si jangkung dengan muka sangar'. Dia memang adalah tipikal orang yang tidak simpatik buat banyak orang, dengan muka sangar dan gaya bicara yang cenderung sinis, teman - teman gw juga heran kenapa gw betah diajak ngobrol lama-lama.

Jatah ngobrol kita memang kelewatan, sekali ngobrol lewat telepon saja panjangnya bisa 4 jam lebih nonstop. Banyak hal yang bisa dibicarakan dan didiskusikan. Banyak pandangan yang gw punya merupakan modifikasi dari pandangan yang dia bagi ke gw dan banyak waktu yang dia sediakan untuk mendiskusikan topik yang kebanyakan orang bakal enggan buat membahasnya dengan anak SMA. Kita bisa mendiskusikan kejadian sehari - hari sampai ke masalah makna hidup, gaya hidup sampai ke masalah agama, urusan pacaran sampai ke masalah prinsip. Cuma sekedar curhat bisa lari sampai debat kusir yang seru kalau urusannya sama dia. Cuma cerita tentang teman bisa membuat gw terbelalak karena gw berpikir, 'oh, ternyata seperti itu toh dunia'. Memang kalau direnungkan lagi tidak semua omongannya bermanfaat, tidak semua nasihatnya pas untuk gw jalankan, tapi dia memberikan bahan pemikiran yang pada saat itu gw butuhkan untuk membentuk diri gw.

Lucunya, orangtua gw bahkan sempat jealous karena gw berubah secara mendadak dan sering membawa-bawa omongan dia ke diskusi dan tukar pikiran keluarga. Gw rasa pada saat itu gw memang agak terbawa. Bayangkan, bertemu orang baru di usia 'labil' dan diperlakukan sebagai orang dewasa. Seberapa keren rasanya? Kalau dipikir lagi, gw jadi ingin sekali bertanya apakah sebenarnya ucapan dia saat itu tentang pemikiran gw yang lebih dewasa dari usia gw itu benar, atau cuma sekadar basa - basi? Tapi, ah, rasanya tidak penting lagi. Sekarang gw mensyukuri perkenalan saat itu, lengkap dengan segala dramanya.

Dan ada satu hal yang dia tularkan ke gw dan gw syukuri, yaitu selera musiknya. Terlepas dari fakta bahwa ayah gw adalah penikmat bermacam aliran musik yang sangat antusias (koleksi lagu dari lagu lawas yang mendayu-dayu, blues, jazz, sampai heavy metal), dulu gw tidak terlalu tertarik ikutan menjajal dengar. Nah,  kebetulan dia adalah penggemar dan pemain gitar jazz, ikut salah satu komunitasnya pula saat itu. Ya, memang sih, sampai sekarang gw tetap tidak bisa 'mengerti' acid jazz atau jazz serius yang bahkan nama alirannya gw tidak tahu. Tapi dia memperkenalkan gw (awalnya menjejalkan gw) dengan penyanyi swing dan lounge, seperti Michael Bubble dan Lisa Ekhdal. Memperkenalkan gw pada lagu - lagu Kings of Convenience yang sampai sekarang membuat gw kecanduan, juga beberapa pemusik yang entah dari mana asalnya. Perkenalan waktu itu membuat gw lebih bisa menerima aliran musik yang tidak biasa dan melatih rasa penasaran gw untuk menemukan lagu - lagu yang unik.

Terima kasih, ya.
Dulu gw pernah mengucapkannya dan sekarang gw ingin mengucapkannya lagi saat melihat ke belakang dan terus melangkah di kehidupan gw, seandainya mungkin. Sudah lama gw memutuskan untuk meniadakan sebuah kejadian yang membuat gw dan dia berpencar arah untuk waktu yang lama, hanya saling bertukar kabar seadanya, tapi gw masih berpegang pada omongannya, " Apapun yang loe lakukan, gw akan tetap menjadi teman baik loe." Gw juga, sebenarnya berpikir sama, hanya belum sempat gw ucapkan. Akankah jadi janggal kalau tiba - tiba gw mengatakannya langsung, saat ini?

gambar malam







Sekian dan terima kasih.

P.S: siap-siap dicaci maki seangkatan. :D

siang kacau

" Mama kerampokan. "

Cuma butuh dua kata untuk mengacaukan siang hari gw, di tengah-tengah jam lab terapi relaksasi. Dikirim via nomor HP-nya yang jarang dipakai sejak menggunakan 2 nomor lainnya. Reaksi pertama gw adalah 'bercanda ya?' yang langsung berlanjut dengan panik, luar biasa panik. Apalagi pas gw tanya kenapa, ga ada jawaban.

Ini sudah kali kedua dalam kurun waktu setengah tahun belakangan ada tragedi kerampokan di keluarga gw. Yang pertama adalah pada saat gw, bersama ibu gw itu lagi naik mobil dan di jalan pulang ke rumah. Hari itu, karena STNK mobil yang biasa dipakai lagi diperpanjang, jadilah ibu gw nyetir mobil si Ayah. Apesnya, jalan yang sudah berkali-kali dilewati, entah kenapa di hari itu berubah jadi jalanan paling horor yang sampe sekarang masih bikin gw trauma kalau lewat sana. 3 orang, gedor-gedor kaca mobil dan langsung tarik putus 2 spion mobil kanan-kiri. Gw ga akan pernah lupa muka orang-orang itu, gw rasa itu muka setan. Baru sekali itu gw lihat muka yang penuh nafsu jahat sampai segitunya. Ternyata, pikir gw, manusia juga bisa berwajah seperti itu, ya.

Hari ini rencananya ibu gw itu mau mampir siang tadi, buat makan siang bareng karena kuliah hari ini selesai lebih pagi daripada biasanya. Cuma memang sebelumnya dia mau pergi ke salon. Nah, di perjalanan mau ke salon yang letaknya sekitar 45 menit dari rumah itu, tepatnya di bagian jalan yang masih sangat dekat dengan rumah gw, ibu gw kerampokan. Modusnya sebenarnya klasik: ada orang pura-pura bilang bannya kempes dan nunjuk-nunjuk ke arah mobil. Ibu gw ini orangnya sangat hati-hati, gw rasa itu juga efek tinggal di Jakarta berpuluh tahun, jadi biasanya setelah turun mobil pasti langsung dikuncinya mobil itu. Tapi entah bagaimana, gw juga cuma dengar ceritanya via telepon, tadi pas mau dikunci pada saat itu pula lewat orang bermotor di sisi sebelah pengemudi dan langsung angkut tas ibu gw beserta segala isinya. Motor dan dua orang itu langsung kabur ke arah yang berlawanan dengan arah mobil ibu gw.

Gw ga tahu ini kebetulan atau gimana, tapi gw bisa bilang ini berkat: kunci kamar yang biasanya langsung dimasukkan sama ibu gw ke dalam tas entah kenapa tadi bisa nyelip di bangku mobil. Jadilah ibu gw langsung balik rumah dan jadi bisa telepon untuk blokir kartu kredit, ATM, dan lain-lainnya. Dan karena HP dengan nomor yang sudah jarang dipakai itu ditinggal di rumah, makanya akhirnya ibu gw bisa sms kasih kabar. Ayah gw juga langsung balik rumah, terus kabar terakhir sih mereka sudah ngurus ke bank, lapor polisi, dan ngurus dokumen semacam KTP, dll.

Tadi sempat sahabat gw menyarankan gw balik ke rumah, tapi gw menolak. Gw ga bisa nyetir, ayah gw lagi jalan ke rumah, dan gw tahu kalau gw naik taksi pastilah ibu gw bakal makin khawatir. Terakhir telepon aja dia jadi paranoid, dia bilang dia khawatir gw juga ikut kenapa-kenapa, mengingat ada fotokopi dokumen gw di dompetnya dan salah satu HP-nya ga berpassword, pesan gw supaya jaga diri, hati-hati, kalau dirampok jangan ngelawan, dia bilang dia khawatir banget sama gw. That's just so my mother. Dia akan khawatir soal dirinya sendiri di saat paling akhir, bahkan pada saat dia yang harusnya dikhawatirkan. Tahu ga yang pertama kali ibu gw bilang saat telepon? " Maaf, ya, tas itu kan padahal tas kamu yang mama pinjem, jadi hilang juga.." dan sesorean ini, kata ayah gw, ibu gw ga bisa berhenti kepikiran HP-nya yang hilang. Bukan karena harga atau apanya, tapi karena HP itu hadiah gw dan ayah gw pas ulang tahunnya tahun ini dan cover yang dipakai itu dari gw.

Gw marah. Sama perampok-perampok itu. Sama diri gw. Berulang-ulang terjadi hal buruk sama ibu gw dan gw ga pernah bisa berguna buat dia. Gw merasa ga berdaya setiap kali gw gagal menjaga ibu gw dari hal-hal yang ga diinginkan. Dan gw malu gw sempat mempertanyakan ulang niat gw menjalani jurusan gw sekarang padahal motivasi awal gw juga karena gw ingin bisa berguna buat ibu dan keluarga gw. Kalau ini peringatan dari Tuhan, gw rasa ini tamparan keras, tapi gw ga pernah berharap harus begini caranya untuk memaksa gw tetap fokus pada tujuan hidup gw.

Gw rasa gw sudah mulai meracau.

Gw cuma berharap semua baik-baik saja, maksud gw, jangan ada yang begini lagi. Dan gw berharap gw dimampukan untuk melindungi keluarga gw, bagaimanapun caranya.

sekumpulan kata yang tak sampai 4

tentang mencintai

1
aku ingin mencintai tanpa dan atau karena.

2
iga yang menjelma itu kini tersesat,
mencari detak untuk dijaga. harus ke mana?

16-20.09.2011

sekumpulan kata yang tak sampai 3

tentang hilang

1
aku tak pernah menghilang, sayang,
cuma bersembunyi,
berharap kau menyadari.
coba cari aku dalam mimpi.

2
ada tak berarti sedia,
sama seperti kata bukan rasa.
tak peduli seindah apa kau rangkai, mereka tak pernah sama.

20.09.2011

sekumpulan kata yang tak sampai 2

tentang pergi

1
selamat tinggal yang paling sedih adalah selamat tinggal yang tak terucap,
kemudian
hampa.

2
merentang jarak
hanyalah cara kembali ke awal.
mengagumi tanpa mengenal.
tapi
kini
terasa ada yang kurang.

3
mungkin bukan aku saja yang sibuk mengurai kala.
mungkin kamu dan jamakmu pun sibuk berkelana.
di atas kertas,
di sebongkah
atau dalam mimpi.

4
seharusnya aku yang bertanya ketika serentang jarak tak kasatmata terbentang: apa kabar kamu?

16-18.09.2011

sekumpulan kata yang tak sampai 1

 1
garis-garis yang bertabrakan memisah diri, menyisakan koneksi.
hamparan tipis jaring-jaring tak utuh dan hempasan tinta yang semburat.

2
aku laut dan kamu gunung.
kita akan bertemu, tapi tidak sekarang.
kita akan bertemu saat wujud kita tak lagi merupa,
meluluh dalam gemuruh.

3
kita berenang.
aku di laut, kau di balik awan.
sesekali kita bertemu di dalam mimpi,
berpandangan tanpa sapa.
aku lupa,
bahasa kita berbeda.

17.09.2011

dunia maya saya

Gw, makhluk gaptek yang awet di dunia maya.

Sebagai alumni sebuah SMA yang, katanya, berbasiskan IT, gw jelas merasa gagal memenuhi standar pencitraan seorang alumni yang baik. Gw ga tahu bagaimana sekarang di sekolah lainnya, tapi gw ingat gw sampai sempat dipaksa mencicipi yang namanya pelajaran programming sederhana dengan Pascal dan Visual Basic. Gw juga ga kepikir bagaimana dulu bisa lulus ya? Sekarang yang gw ingat tentang programming cuma...apa yang gw ingat ya? Dua program itu dan AutoCAD, sebuah program yang katanya auto tapi ribetnya setengah mati. Padahal yang diajarkan ke kita waktu itu cuma bangun 2 dimensi, cuma bentuk persegi panjang yang pakai program Paint pun ga nyampe 1 menit jadi. Di AutoCAD, gara-gara urusan jurusan garis, pasti menggambarnya makan waktu lebih dari semenit dan menurut gw itu nyebelin.

Soal internet ga jauh beda. Dulu gw sudah bangga banget bisa lumayan paham HTML di masa SMP, tapi gw tetap berterimakasih pada siapa pun yang menciptakan FrontPage (iya, maksud gw Microsoft), paling ga rendahnya kepegalan tangan ga memperparah badai otak yang terjadi. Sempat belajar program HTML lain juga..DreamWeaver? Benar ga ya nama programnya? Sampai lupa, lho, soalnya kemampuan memang sudah balik ke nol lagi. Sayangnya manusia itu sungguh pandai dalam menjadi maju. Pada saat tercipta CSS, gw kibas-kibas bendera putih. Sori banget, gw ga ikutan. Berusaha cari-cari tutorial kode buat merombak sedikit blog ini aja udah bingung, ilmu yang dulu sedikit menempel waktu membuat blog lama sudah terbang entah ke mana, ditambah lagi gw pusing karena diri gw banyak mau.

Seperti semua anak sekolah, dare to be different itu dulu gw ucap biar merasa keren, tapi prakteknya, ya, lain lagi. Menjadi gaptek ga boleh menghalangi gw menjadi gaul, pikir gw saat itu. Jadi, terciptalah beberapa ketidakjelasan ala gw di dunia maya. Mulai dari web gagal yang kemudian ga bisa gw hapus padahal ada beberapa info yang menurut gw ga seharusnya gw letakkan di sana. Lanjut ke blog-blog gw yang kalau dilihat sekarang sih aneh-aneh lucu: blog pertama gw yang isinya sok nulis diary dan blog kedua gw yang bertahan sekitar 4 tahunan. Itu baru blog, belum lagi akun dunia maya yang dulu wajib dipunyai anak sekolah: Friendster, High5, MSN Messenger.

Pas masuk kuliah, gw ditodong membuat akun Facebook oleh para senior, katanya sudah ga zamannya lagi main Friendster. Setelah resisten cukup lama, gw beralih dari Friendster ke Facebook. Setelah masuk sebuah organisasi kemahasiswaan yang rapat dunia mayanya sungguh luar biasa banyak dan memakan waktu (rapat mulai pukul sepuluh malam dan berlangsung sampai subuh; gw rasa ga sedikit yang ketiduran pada saat rapat berlangsung, makanya kalau dari puluhan nama yang terlihat online tetap ga ada tanggapan yang diketik, ya, wajar aja menurut gw), gw dituntut untuk memiliki Yahoo Messenger. Terakhir gw merasa didesak kebutuhan dan akhirnya membuat akun Twitter juga. Satu yang masih berhasil gw tangkal hingga sekarang adalah mengganti gadget gw menjadi BlackBerry demi fitur BBM-nya yang sangat diagung-agungkan itu.

Gw sadar tuntutan dari lingkungan untuk mempunyai media sosial sangat berpengaruh dan gw merasa terbebani. Sedih, lho, bagaimana kami, para kaum non-BB, di kampus gw ketinggalan banyak berita penting. Ga punya akun Facebook artinya ga bisa melihat event yang akan datang, pengumuman kampus, dan berita teman-teman serta saudara. Ga punya akun Twitter artinya akan ketinggalan berita non-kampus dan mengurangi kecepatan mendapatkan info seputar kehidupan kampus. Kadang-kadang gw jadi berpikir, kenapa gw dikendalikan oleh lingkungan dan media sosial? Harusnya, kan, karena gw merasa ingin dan menikmati sarana-sarana itu maka gw memiliki akun di sana, tapi ini malah terbalik. Yang gw inginkan adalah tetap terjalinnya komunikasi dengan teman-teman, guru, saudara, dan kenalan gw tanpa privasi gw terlalu diusik dan ditelisik oleh mata-mata yang tidak berkepentingan. Nyatanya media sosial ideal seperti itu tidak ada, ada yang mesti dikorbankan. Menutup akun terlalu erat malah menghalangi komunikasi dengan teman-teman yang 'hilang', tapi terlalu lebar membuka akun juga malah mengundang orang-orang ga berkepentingan. :(

Gw mengingat-ingat lagi alasan gw membuat beberapa akun dunia maya yang gw rasa murni karena kemauan dan bukan karena tuntutan lingkungan. Blog salah satunya. Buat gw menulis itu terapi karena gw yang orangnya tidak pernah bisa terlalu terbuka tentang masalah pribadi, jadi lebih lepas dan lega saat menulis, menulis itu kebutuhan. Dulu, walaupun ga banyak dikunjungi, blog gw malah menjadi konsumsi orang yang bukan dari lingkungan nyata gw, artinya gw malah banyak ketemu blogger lain gara-gara blogwalking dan bertukar link. Menurut gw itu jauh lebih menyenangkan: bebas dari tekanan dan lepas dari segala tatapan menghakimi, baik disengaja maupun tidak oleh orang yang tiap hari bertemu dengan gw.

Kemudian tiba masanya gw berkenalan dengan microblog, Tumblr, yang praktis dan 'hening'. Tidak banyak yang tahu dan identitas tidak perlu banyak diumbar. Kecanduan, gw pun lebih banyak bermain di sana. Sisi negatif dari Tumblr yang akhirnya gw sadari adalah banyak sekali bertebaran pikiran negatif dan depresif, bukannya menyalurkan perasaan lama-lama gw ikut terbawa juga oleh pemikiran dan masalah orang lain. Masalah tersebut bercampur dengan kondisi gw yang sedang berusaha beradaptasi di kampus, terbawa ke blog kedua gw, isi blog gw ikut jadi aneh dan berantakan. Gw memutuskan berhenti menulis di sana.

Nah, baru-baru ini gw menyadari gw ga bisa terus-terusan nyampah di akun Tumblr gw atau  pun kembali memperbaiki blog gw sebelumnya. Di sisi lain, gw sepertinya membutuhkan media menulis dan penyaluran keluh kesah. Solusi gw: blog ini. Gw membuat blog yang satu ini dengan harapan gw bisa berefleksi dulu pada diri gw sendiri sebelum gw dengan impulsif menulis satu kalimat yang 'galau' karena mengalami suatu kejadian. Andaikata ga terhindarkan, gw ingin dengan tulisan galau itu gw juga mendapatkan sedikit pencerahan pribadi. Sejauh ini agak sulit menurut gw, untuk menulis 1 postingan baru aja gw bisa di depan laptop sampai 4 jam lebih karena ga ingin gegabah dalam bercerita atau membuat kata-kata, hasilnya ya masih berantakan juga. Tapi gw rasa ini juga proses belajar, baik dalam hal menulis secara sistematis maupun menata otak dan menyampaikan cerita lagi. Masalah ada pembaca atau ga, urusan belakangan. :)

Dunia maya saya: satu kunci, satu pengingat, dua nama, dua pernyataan hidup, dan dua cermin.

sombong

Selama beberapa hari belakangan otak gw 'penuh' dan gw pengen banget nulis. Judul-judul berkelebatan di kepala gw beserta isinya yang ga jauh dari keluh-kesah dan pikiran negatif. Maklum, minggu yang baru lewat adalah minggu ujian, ditambah lagi baru-baru ini memang banyak pikiran berseliweran di kepala.

Terus, hari ini pas gw ke rumah ibadah, gw baru sadar suatu hal:
Gw sombong. Terlambatkah kalau gw baru sadar sekarang?

Sebelum gw meneruskan, tolong jangan memiliki pikiran bahwa gw menulis ini untuk berkotbah atau mempromosikan agama tertentu. Dan jangan menilai bahwa tiba-tiba gw mendapatkan cahaya surgawi atau apa pun itu. Perenungan hari ini adalah akumulasi perenungan gw kemarin saat membaca buku On Death and Dying oleh Elizabeth Kubbler-Rose, kata-kata Tagore, dan beberapa kejadian di akhir minggu.

Tadi gw tersentak waktu lihat tema kotbah hari ini tentang bersyukur. Satu hal yang gw sadari sekali tentang diri gw adalah kurangnya rasa bersyukur, jadi gw pikir 'wah, pas juga nih'.

Kotbah dimulai dengan cerita Yunus. Nah, kalau dengar nama yang satu itu, di otak gw akan muncul gambaran laki-laki yang dimakan paus gara-gara bandel ga mau pergi ke sebuah kota yang katanya sih penuh dosa.

Kebetulan gw sempet nekat foto interpretasi Dali atas kisah Yunus. Lebih kurang yah beginilah isi otak gw kalau dengar kata Yunus. Ga, isi otak gw ga se-artistik ini, kok. Maksud gw adalah gw selalu terbayang rumusan yang sama: 1 laki-laki dikejar 1 paus super besar, di laut.

Gw ga inget cerita lainnya tentang proses 'ngeyelnya' dia berikut ini: Yunus sampai di suatu daerah mengeluh kepanasan dan bete gara-gara Tuhan masih ngotot meminta dia pergi ke Niniwe. Tuhan kemudian menumbuhkan pohon jarak dalam semalam untuk menaungi dia. Seperti semua manusia, fisik yang adem otomatis membantu hati jadi ga panas, dia pun senang. Kemudian Tuhan mendatangkan hama yang membuat pohon tersebut jatuh plus menghembuskan angin gurun yang panasnya luar biasa. Yunus, seperti yang sudah bisa ditebak, kecewa dan marah. Tuhan bertanya kenapa Yunus mesti marah dan kehilangan sesuatu yang bahkan ada tanpa usahanya? Lalu, kenapa Tuhan ga boleh mengutus dia untuk menyelamatkan orang-orang di Niniwe yang Tuhan ciptakan dan kasihi? Dikatakan Yunus ga mau pergi karena di dalam pikirannya kenapa dia yang selama ini sudah kerja keras menyebarkan 'suara Tuhan' malah disuruh ke kota yang secara iman bobrok dan 'ga tertolong lagi'. Ibaratnya sudah kerja keras, kok, imbalannya malah makin disiksa?

Satu kisah lagi adalah tentang pemilik perkebunan anggur yang mencari pekerja. Dari subuh sang pemilik turun sendiri ke jalan untuk menawarkan pekerjaan. Segera, kloter pertama terkumpul dan mereka setuju dengan upah 1 dinar, mereka pun mulai bekerja. Namun, sang pemilik yang berjiwa sosial ini turun lagi untuk mencari orang-orang yang dapat bekerja di ladangnya, hingga terkumpullah beberapa kloter dan kloter terakhir bekerja 1 jam saja. Sore harinya, sang pemilik meminta anak buahnya untuk membagikan upah mereka, dimulai dari kloter yang terakhir. Mereka mendapatkan 1 dinar. Ketika pembagian upah sampai pada kloter pertama, mereka pun masing-masing mendapatkan 1 dinar sebagai upah bekerja. Lho? Kenapa yang bekerja dari subuh dan yang bekerja hanya 1 jam sama saja upahnya? Mereka memprotes (yang menurut gw wajar). Tapi tunggu dulu...Dari awal kloter pertama sudah setuju dengan upah mereka yang 1 dinar itu. Sang pemilik berkata kenapa mereka harus sewot atas kemurahan hatinya kepada kloter-kloter lainnya. Meminjam bahasa kasarnya: 'lha, ini kan uang gw, suka-suka gw donk mau gw pakai dengan cara apa?' Lagipula, pekerjaan itu diberikan pada mereka oleh sang pemilik. Tanpa pemilik yang turun langsung ke jalan, mereka tidak akan beroleh pekerjaan tersebut.

Pada saat gw dengar 2 cerita itu, gw merefleksi diri gw dan merasa malu. Selama ini gw sudah sangat sombong dan yang seram adalah gw ga sadar kalau gw sudah sangat sombong. Seberapa sering sih gw mengeluh kenapa pencapaian gw tidak sebesar teman-teman gw? Kenapa gw serba separuh-jadi? Kenapa sih gw ga ketemu juga sama jodoh gw padahal orang lain udah berapa kali ganti pasangan? Kenapa sih nilai gw cuma segini? Sering, sering sekali. Dan semuanya memakai embel-embel: padahal kan gw sudah berusaha, padahal kan gw sudah mengorbankan (x, y, z, banyak sekali variasi isiannya), padahal kayanya muka gw walaupun ga cantik tapi mendingan daripada dia. Sambil mengeluh, gw ga lupa untuk meninggikan diri gw.

Di sisi lain, seberapa seringkah gw benar-benar merasa bahwa Tuhan benar-benar membantu gw? Pada saat gw mendapatkan sebuah prestasi, bibir gw bisa aja mengucap 'iya, aduh, ini juga berkat Tuhan' tapi di hati gw ada rasa bangga berlebihan yang menggumam 'usaha gw ga sia-sia kan, sekarang kalian lihat sendiri'. Pada saat gw mau melakukan sesuatu gw mengucap doa wajib 'untuk kemuliaan Tuhan', tapi begitu gw berhasil melewati peristiwa tersebut dengan sukses ceritanya jadi berbeda. Yang gw ceritakan ke orang adalah usaha gw, proses gw bekerja, hal-hal yang menurut gw adalah kelebihan gw yang membawa gw ke titik itu. Bersyukur dalam hati cuma tinggal cerita. Betapa sombongnya gw dan, walaupun pedih gw ucapkan, betapa munafiknya gw.

Pada akhirnya gw sadar bahwa gw masih kekanak-kanakan. Kalau ada berkat, tangan gw langsung menengadah. Begitu ada masalah, gw lari. Kalau ada pencapaian yang gw dapatkan, dengan pongahnya gw maju ke depan buat terima pujian. Begitu gw dihadapkan pada kegagalan, gw langsung buang muka, tutup telinga, pura-pura ga tahu. Bukannya berusaha memahami keadilan dari Tuhan Yang Maha Adil, gw memaksakan keadilan versi gw untuk diaplikasikan di hidup gw. Saat hal itu tidak terjadi, gw marah-marah dan ngambek.

Karena kesombongan gw, gw seringkali menolak melihat masa sekarang, tapi asyik mengingat pencapaian apa yang telah gw dapatkan. Sementara itu, orang lain sibuk merancang dan bekerja keras mewujudkan pencapaian-pencapaian lain. Jadi, begitu gw menengok lagi ke masa sekarang, gw tertinggal dan merasa gagal. Gw akan banyak ngomel dan sedikit bekerja karena gw merasa sudah banyak usaha gw, tapi kok tetap saja gw stuck di titik awal. Lama-lama gw ga bisa lepas dari lingkaran setan yang membuat gw makin lama makin tidak produktif.

Masih berkaitan, tadi adik kelas gw sempat menulis di Twitternya sesuatu yang sederhana, yang kadang terlupa: segala sesuatu berlaku timbal balik, nggak bisa kita meminta terus tanpa pernah memberi. begitupun sebaliknya. Setelah gw ingat-ingat lagi, gw sungguh banyak menuntut. Salah satu sahabat gw sering mengirimkan gw sms untuk sekedar menyapa dan ngobrol karena dia kesepian tinggal di kos, sementara setiap weekend gw akan pulang ke rumah. Entah kenapa, gw malas untuk membalas sms-nya, padahal dia cuma butuh teman dan seharusnya gw bisa ada untuk dia. Padahal gw sering mengeluhkan ga ada teman ngobrol, 'hape sepi', dan lain sebagainya. Halooo, seberapa hebatnyakah gw untuk menuntut orang lain memperhatikan gw sementara untuk seorang sahabat gw enggan mengeluarkan energi mengetik beberapa kata?

Gw harus berubah. Memulai lagi dari awal walaupun sulit karena gw terbiasa berpikir muluk. Dimulai dari hal yang sederhana dulu gw rasa, keluarga dan sahabat-sahabat gw.Lalu, belajar berdoa dan bersyukur lagi. Semoga kepala dan hati gw yang batu ini mau gw ajak bekerjasama. :)

"We read the world wrong and say that it deceives us"
- Tagore

tahun ketiga

22 Agustus 2009 & 24 Agustus 2009


18 September 2010
 23 September 2011

Ada di sana untuk Gute Nacht, untuk Fallin', kali ini akan menunggu kejutan dari M. :)

pelengkap: maaf

Sebenernya gw nulis bagian 'sepenggal: maaf' bareng sama tulisan ini dan sangat berniat menulis tentang maaf karena kejadian yang akan gw sertakan berikut, tapi entah kenapa kemaren pas mau gw posting, gw merasa ragu. Setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya tetap perlu gw masukkan deh..

Salah satu teman baik gw punya hobi yang terbilang agak aneh nan ajaib, dia suka bilang kata maaf dalam paket: "maaf, ya, maaf, maaf" dan dalam frekuensi yang terbilang sering. Yang dengar aja suka cape sendiri dan suka bingung kenapa, sih, harus sering banget bilang maaf ( itu dan keanehan dia lainnya, seperti bilang 'makasih' kalau dimintain tolong buang sampah). Kita semua berkesimpulan dia sebenarnya anak baik yang memang agak aneh aja. Yah, ga heran juga sih dia mau jadi sahabat gw ( adalah aturan ga tertulis kalau teman dekat gw pasti aneh, simply karena katanya gw aneh; gw harus bangga atau sedih ya?).

Setelah nyaris 3,5 tahun bersahabat, baru sekitar 2 minggu lalu gw berkesempatan denger alasan paket maafnya. Itu pun setelah kita ngobrol buka-bukaan yang, percaya ga percaya, ga pernah kita lakukan sebelumnya. Tapi kita benar sahabatan. Rasanya agak aneh juga, sih, kalau dipikir lagi, jadi selama ini kita ngapain aja? Pertama-tama gw bilang gw sering 'kepikiran': takut berbuat salah ini-itu, takut menyinggung orang, takut dinilai jelek. "Nah, itu dia alasan gw selama ini sering ngomong maaf!" katanya. Oh, gitu! Ternyata kita sama ya, cuma beda reaksi: gw tipe kepikiran ribet dan menyiksa diri karena memilih mingkem dan terus-terusan merenungi apa ada yang salah, dia tipe kepikiran praktis yang merasa daripada makin salah lebih baik langsung hajar 'maaf' saja.

Gw belajar hal baru di situ. Lagi-lagi gw jadi ingat ga boleh nge-judge orang, kalau perlu tanya ya tanya deh sampai puas, daripada penasaran, asumsi dini, dan ujung-ujungnya salah ambil kesimpulan.

Sebenarnya yang buat gw jadi niat banget nulis soal maaf ini adalah peristiwa yang lebih baru lagi terjadinya, ga lama setelah gw memahami makna 'maaf'-nya teman baik gw. Kejadiannya lucu-lucu ga lucu, susah dideskripsikan:

Teman Kenalan Sebut saja X adalah teman baru kakak gw, yang kemudian dikenalkan ke gw sekitar sebulan lalu. Awalnya gw pikir dia aneh, terus gw pikir dia baik, terus dia membuat keanehan yang sungguh membuat gw sangat 'jlegerrrrrkabooommmzzzzzzzdhuaaaaar' (maksudnya gw emosi jiwa, cuma gw udah bingung bagaimana cara jelasinnya). 

Cerita bermula di hari kedua X pulang ke kampung halaman, dia telepon. Awal telepon muka gw masih senyum. Gw pikir, wah baik juga si X, katanya sibuk jaga toko masih sempat aja telepon buat ngobrol ga jelas dan tanya kabar. Ternyata, saudara-saudara, gw berakhir sebagai pendengar suasana toko alias disuruh tunggu dia bantu-bantu. Pertama-tama cuma 5 menit, lama-lama ada mungkin sekitar 20 menit gw bengong pegang HP. Astaga, deh. Disuruh tutup dulu juga ga mau. Bagus. Sabar, sabar, gw pikir. Padahal, seandainya kesabaran gw itu disamakan dengan IQ, pasti gw dibilang IQ jongkok. 

Kejadian selanjutnya lebih menguji mental, karena, entah ide dari mana, tiba-tiba X bilang, 
"Coba deh ngomong sama nyokap gw.

Gw hening, terus gw tanya dia,

"Buat apaan ya? Terus gw mau disuruh ngomong apa?" 
"Jawab aja: Tante, nama saya *nama gw*. Saya temennya X."
"Ga mau, aneh banget!"
"Wah, loe ga sopan loe! Harusnya loe tuh belajar dari orang daerah, sopan!" *nada menggurui*

Gw bingung. Sungguh.

Sejenak sambungan terputus.

"Nyokap gw mau tanya topik yang di tugas kuliah loe barusan tuh, jelasin ya!"
"Gw jelasin ke loe, nanti loe yang jelasin ya."
"Gw loudspeaker aja ya?"
"Oh, boleh, deh."
"Wah, ga sopan loe!"

Gw ga bingung lagi, gw bete.
Maksudnya, tuh, gimana ya? Apakah dengan memilih tidak bersikap tidak wajar dan tidak sok kenal itu salah? Bahkan niat buat, paling ga, 'ngasih intro' dulu aja ga ada. Dan gw yang dibilang ga sopan. Gw ga mau banyak omong, jadi pas sambungan terputus lagi, gw memilih tidur dan ga bilang apa-apa. Gw berencana menjelaskan ketidaksukaan gw kalau tatap muka lagi. Menjelaskan prinsip di telepon adalah jaminan terjadinya miskomunikasi.

Fast forward ke kejadian di mana kata maaf terlibat dalam sebuah perbincangan telepon.
"Kayanya gw bikin salah sama loe ya?"
"Oh, emang bikin salah apa?"
"Ga tahu juga sih, emang bener ya? Maaf ya!"

Dan dia tertawa ngakak. Maksudnya? Gw langsung lemas.

"Kenapa ketawa yah?" tanya gw.
"Ups, maaf. Tapi emang bener ya gw ada salah sama loe?" *nahan ketawa*
"Lho, emang ngerasa ada salah?"
"Kayanya lho ya, pas terakhir gw telepon itu ya?"
"Masa sih?"
"Iya, apa ya salah gw?"
"Kalau ga berasa salah kenapa minta maaf, ya?"

Otak gw mulai berantakan.

"Jadi bener ya? Hahahaha..habis gw pelupa sih! Maaf ya..hahahaha!"

Gw konfirmasi: 'hahahaha' di atas adalah tertawa. Gw langsung niat cakar-cakar mukanya. Kesabaran gw nampaknya sudah pada tingkat gali kubur sendiri. 

Hari ini sudah beberapa hari setelah kejadian naas itu dan gw masih merasa horor aja kalau kebayang ketawa ngakaknya itu, mungkin dia pernah kena benturan hebat di kepalanya? Atau memang dia agak berbeda? Gw ga akan pernah tahu. Tapi, sesuai pembelajaran gw, gw ga akan nge-judge.  Dan kali ini..ga berani kalau disuruh berurusan lagi sama orangnya, sih. Dimaafkan sajalah dalam hati. :)

karena kita manusia

1
telah selalu berarti saya sudah
maka jangan hakimi saya karena
saya sudah mencoba, tapi maaf
telah saya putuskan untuk berhenti
saya tidak mengerti apa
yang harus saya perjuangkan, kenapa
saya harus mempercayai Anda?

2
di kejauhan masa
ketika kata berubah jadi makna dan
kemudian mewujud nyata
kita dikutuk, Saudara, untuk mengundang
ajal nyata yang pertama
katakan pada mereka
ini bukan salah siapa-siapa,
semata karena kita manusia.

3
jangan lagi Anda tanya mengapa
ini pilihan saya, membuat percaya tiada
membunuhnya dengan tangan saya
agar kata kita mengada.

sepenggal : maaf

Mungkin bagi sebagian besar orang ga ada perbedaan arti dalam pengucapan kata 'sori' dan 'maaf'. Bahkan seringkali maknanya berkurang jauh. Kalau ga bisa dibilang terjun bebas. Entah kenapa gw akhir-akhir ini sering banget ketemu dua kata itu dan gw jadi berpikir ulang...

Ini mungkin pemikiran gw sendiri, tapi dari kecil gw selalu membuat tingkat minta maaf di kepala gw. Sori dan maaf yang buat orang lain maknanya sama, buat gw punya sedikit perbedaan. Sori adalah kata yang gw ucapkan kalau gw ga sengaja senggol orang dan hal-hal yang menurut gw sifatnya sepele. Sementara maaf lebih berat, lebih dalam, lebih berarti. Pengucapannya juga harus lebih hati-hati. Contohnya, kalau  sampai ada yang sakit hati karena memang gw bersikap terlalu keras atau gw berbuat kesalahan fatal dan sangat merugikan.

Dan lagi, sori maupun maaf adalah bentuk penyesalan yang terucap. Kalau sampai mengucap kata-kata itu, artinya gw menyesal. Menyesali sikap atau kata-kata yang kemudian gw nilai ga pantas, menyesali sikap atau kata-kata yang merugikan dan menyakiti orang lain, atau kedua-duanya. Penting buat gw untuk bersikap selayaknya orang yang menyesal. Selayaknya orang yang meminta, gw mengharap permintaan gw akan dipenuhi: menerima maaf dari yang dirugikan. Gw ga akan bersikap mau kabur karena gw ada di sana untuk bersikap konsekuen terhadap sikap gw. Gw ga pernah berpikir untuk tertawa pada saat gw minta maaf. Karena, apa yang lucu dari minta maaf? Kecuali maaf cuma sekedar kata-kata yang terasa wajib dan jadi terasa janggal saat diucapkan.

Mungkin gw hidup di masa yang salah, mental gw mental kolot. Buat gw permintaan maaf itu masih dan tetap istimewa. Buat orang lain? Kadang gw berpikir sekarang permintaan maaf sudah dilacur, diumpankan cuma buat cari selamat.

mati ?

Kalau ada yang bisa membuat gw merasakan jatuh cinta dan benci pada saat bersamaan, gw rasa orangnya adalah Jack Kevorkian.

Pagi ini dosen etika gw memutuskan untuk memutarkan sebuah film yang berkaitan tentang etika seputar akhir kehidupan, 'You Don't Know Jack'. Di awal film gw sempat merasa bosan dan bingung, sebagian karena adegan yang melompat dari seorang pasien yang tergeletak dengan alat penyokong kehidupan ke adegan sekumpulan kakek-kakek bermain kartu, sebagian lagi karena teks terjemahan yang serba berantakan.

Hal pertama yang menarik perhatian gw dari film ini adalah musik latarnya yang kebanyakan adalah lagu klasik yang cukup familiar di telinga, terutama Cello Suite No.1-nya Bach (dari antara semua musik klasik, favorit gw adalah Bach). Hal selanjutnya adalah kematian, pernyataan bahwa Bach adalah tuhan bagi Jack Kevorkian, sekilas pernyataannya tentang Nazi, dan lukisan karyanya. Gw ga tahu persisnya mana yang membuat gw merasa terguncang dan merasakan badai di dalam diri gw.

Ada dua hal yang diperjuangkan oleh Kevorkian: donor organ dan kematian atas pemintaan pasien. Namun, ia akhirnya lebih terfokus pada hal terakhir. Kematian, menurut Kevorkian, merupakan pilihan dan hak seseorang. Buatnya, seseorang layak mati dengan bermartabat dan tanpa rasa sakit. Ia memfasilitasi kematian para pasiennya dengan alat ciptaannya sendiri yang dinamai Thanatron ( thanatos = kematian ) dan setelah izinnya dalam mendapatkan potasium klorida dicabut, dengan Mercitron. Alat pertama terdiri dari 3 tabung yang masing-masing berisikan saline (cairan yang menyerupai cairan tubuh manusia), obat tidur, dan potasium klorida ( akan merusak kelistrikan jantung sehingga jantung berhenti berdenyut dalam sekejap). Mercitron memanfaatkan karbon monoksida konsentrasi tinggi yang nantinya membuat sel darah merah berhenti mengikat serta menyuplai tubuh dengan oksigen, tubuh akan lemas dan berakhir dengan kematian yang juga tanpa rasa sakit. Pasien diminta menarik sendiri tuas tertentu untuk memulai proses kematiannya.

Atas praktiknya ini, Kevorkian yang kemudian dijuluki Dr. Death, berkali-kali berurusan dengan polisi dan mengalami penuntutan, bahkan sempat ditahan dan menjalankan aksi mogok makan.  Namun, ia tetap bisa lolos karena sebenarnya yang dilakukannya adalah bunuh diri-berbantuan (assisted suicide): ia tidak menyarankan serta membunuh pasien, namun memfasilitasi permintaan pasien. Bertahun-tahun lembaga hukum setempat berusaha membatasi usahanya hingga akhirnya mereka mengadakan perundangan yang isinya dengan tegas melarang euthanasia. Gw ga berkesempatan nonton filmnya hingga selesai, jadi gw menelusuri internet dan menemukan bahwa akhirnya ia dipenjarakan sejak tahun 1999 hingga tahun 2007 atas tuduhan pembunuhan tingkat kedua dan pengedaran substansi di bawah kontrol. Hal ini karena, berbeda dengan pasiennya yang lain, ia akhirnya melakukan euthanasia pada Thomas Youk (Kevorkian sendirilah yang menyuntikkan substansi yang menyebabkan kematian), ia pun terganjal perundangan yang berlaku.

Seperti yang gw bilang sebelumnya, gw punya ketertarikan khusus dengan kematian. Menurut gw kematian itu identik dengan kepastian dan kepastian adalah hal yang memberikan perasaaan nyaman buat gw. Terus terang, gw ga ngerti dengan pemikiran Chairil Anwar yang 'ingin hidup seribu tahun lagi'. Setiap hari di hidup kita, kita terombang-ambing dalam ketidakpastian masa depan, kita dituntut untuk berjuang dan bertanggung jawab, mulai dari diri kita sendiri hingga ke banyak hal. Singkatnya, hidup itu susah: 'kalau loe ga sakit, loe ga hidup'. Itu pendapat gw yang sehat mental dan fisik, jadi gw bisa mengerti betapa menderitanya orang-orang dengan penyakit terminal atau sangat berat yang akhirnya mencari pertolongan dokter untuk melancarkan kematian mereka.

Pasien pertama Kevorkian, Janet Adkins, seorang istri dan ibu yang divonis menderita Alzheimer, penyakit yang mengikis ingatan seseorang perlahan-lahan. Obatnya? Belum ada. Janet mengaku ga tahan, dia merasa makin lama makin 'tersesat' dan dia tahu suatu saat dia akan terbangun ga mengenali keluarganya, dia akan selalu sendirian. Pasien lainnya merupakan penderita Lou-Gehrig syndrome, penyakit yang perlahan-lahan melumpuhkan kemampuan otot tubuh dimulai dari bagian terbawah. Pasien dengan penyakit ini akan mati karena sesak nafas akibat tidak berfungsinya otot pernafasan. Obatnya? Juga belum ada. Apa makna hidup kalau cuma bernafas dan sehat fisik? Apa artinya hidup kalau terkekang penyakit yang sudah pasti akan menyiksa kita sampai mati? Jeritan minta tolong inilah yang direspon Kevorkian sebagai dokter. Dalam pandangannya, lebih manusiawi memfasilitasi sebuah kematian ketimbang membiarkan pasien dengan mati serebral (hanya batang otak yang berfungsi) mati kehabisan nutrisi setelah alat penunjang kehidupannya dicabut.

Selalu ada perdebatan tentang keputusan yang harus dilakukan dokter, karena dokterlah yang menggenggam kendali untuk tidak melakukan atau melakukan suatu tindakan terhadap pasiennya. Selalu ada dilema antara menjalankan otonomi pasien atau tetap menjalankan apa yang baik secara medis. Banyak pihak mengecam tindakan euthanasia dan bunuh diri-berbantuan karena menilai bahwa cara-cara tersebut tidak tepat dikatakan sebagai 'kematian yang bermartabat', bahwa kebanyakan pasien dengan penyakit berat tidak berkemampuan memutuskan sesuatu secara bijaksana. Di sisi lain, kita juga harus memikirkan derita pasien dan hak pasien yang, sebagai manusia, memiliki pemikiran dan hak-hak atas dirinya sendiri. Lagi, tidak ada yang bisa memastikan apakah benar pasien dengan penyakit berat yang menginginkan kematian sesungguhnya hanya membutuhkan perhatian. 

Pada suatu kesempatan Kevorkian mendapat pertanyaan: "You are saying doctors play God all the time?" , yang kemudian dijawab, "Of course. Anytime you interfere with a natural process, you are playing God." Kevorkian berkeyakinan apa yang dilakukannya adalah yang terbaik buat pasiennya. Bahwa kemudian ia dinilai playing God, ia merasa bahwa semua dokter sesungguhnya melakukan hal yang sama.

Gw mengagumi jatuh cinta sekaligus benci Kevorkian yang dengan arogan menantang orang-orang yang memandangnya sebelah mata. Gw jatuh cinta karena sikapnya yang sampai akhir memegang prinsip membantu pasien sepenuh hati dan sikapnya yang pantang menyerah, semua yang dilakukannya bukan semata karena ia mengharapkan uang, tapi karena niatnya dalam melayani pasien, niatnya untuk tetap memperlakukan seseorang sebagai manusia hingga akhir hidup orang tersebut. Kevorkian adalah seorang yang bisa dikatakan jenius, namun ia memilih untuk mendedikasikan tahun-tahun kehidupannya demi mengikuti hati nuraninya, bersusah payah berurusan dengan hukum, bahkan sampai dipenjara sementara dokter lain mungkin bisa merintis karir yang sukses dengan kemampuan dan waktu yang sama.

Satu adegan yang tidak terlupakan dari film 'You Don't Know Jack' adalah saat Kevorkian, masih terpukul oleh kematian kakak perempuan yang selalu setia mendampinginya (ia tidak pernah menikah), lagi-lagi ditahan oleh polisi dan memutuskan untuk mogok makan. Di dalam penjara, ia membuat sketsa dan rancangan klinik bantuan kematian walaupun semakin hari daya pikirnya semakin menurun karena tidak adanya asupan nutrisi, walaupun ia masih merasa hancur dan sedih. Jack Kevorkian, yang di filmnya diperankan oleh Al Pacino, kelihatan sekali sudah nyaris mencapai limitnya, tapi ia tetap bertahan pada prinsip dan aksinya.

Kevorkian tetap manusia, ia juga melakukan kesalahan. Penyelidikan mengatakan beberapa pasien Kevorkian sesungguhnya tidak bisa dikatakan sebagai pasien terminal maupun berpenyakit berat, walaupun Kevorkian sudah berhati-hati dan menolak pasien yang depresi dan dianggap tidak kompeten dalam membuat keputusan sendiri. Ia hanyalah manusia yang menolak adanya Tuhan, berpendapat tuhannya adalah Bach , karena masa kecilnya yang pahit. Kalau ada yang membuat gw merasa benci adalah pernyataannya bahwa manusia datang dari ketiadaan, sehingga kembali ke ketiadaan seharusnya tidak menjadi perkara besar.
Beberapa orang mencela Kevorkian karena ia sendiri memilih tidak menjalani euthanasia ataupun bunuh diri-berbantuan saat ia tergerus oleh kanker hati di akhir hidupnya. Gw menilai ini sebagai komentar yang picik. Kita tidak harus melakukan sesuatu yang tidak kita butuhkan hanya karena kita menolong orang lain mendapatkannya, saat mereka benar membutuhkannya. Setiap orang memiliki kebutuhan dan limit yang berbeda-beda.

"Seandainya yang terbaring dengan alat bantu hidup adalah saya, apakah kamu akan meminta dokter mencabutnya?" merupakan pertanyaan Margo, kakak Jack Kevorkian saat ia baru akan memulai karirnya sebagai Dr. Death dengan Thanatron. 
"Ya," jawab Kevorkian dengan mantap.

Ada banyak sisi yang membuat gw ga bisa memutuskan apakah gw mendukung atau menolak tindakan euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Sisi manusiawi gw mengatakan gw menyetujui tindakan tersebut. Buat apa menunda sesuatu yang sudah mendekat dan memilih memperpanjang penderitaan.  Di sisi lain, walaupun gw pendosa, gw percaya Tuhan, jadi gw mengandaikan pasien tersebut adalah gw. Apakah gw ga melakukan dosa dengan niat mati gw? Euthanasia dan bunuh-diri berbantuan memiliki prinsip 'atas kemauan pasien', dengan kata lain apapun namanya, hal tersebut merupakan tindak bunuh diri. Sebagai manusia, punya hak apa gw menentukan bahwa gw sudah harus mati? Bahwa gw sudah mencapai limit gw? Apa itu bukan melecehkan Tuhan namanya?

Kemudian gw teringat permintaan Ibu gw, kalau sampai terjadi mati serebral, ia memilih ga dipasangi alat penunjang kehidupan (juga, kalau sampai ia terkena kanker stadium lanjut, ia memilih menjalani sisa hari dengan tenang tanpa kemoterapi). Apakah gw akan dengan rela meluluskan permintaannya bila hal itu benar-benar terjadi? Jelas gw ga akan semudah itu mengatakan ya, seperti yang dikatakan Kevorkian. Nah, jika gw bertindak sebagai dokter, jelas jadi susah mengamini keinginan mati karena sebenarnya terbukti gw berpikir 'masih ada yang bisa diusahakan'. Sebaliknya, gw juga ga bisa mengatakan dokter yang berlaku seperti Jack Kevorkian yang 'membunuh' atau dokter yang mencabut alat bantu hidup (sering dikatakan tindakan 'letting die') sebagai orang yang tidak berhati nurani ataupun salah.

Jack Kevorkian seringkali dituding berlaku bak Nazi oleh pihak kontra karena ia dinilai bertindak dengan alasan 'untuk  masa depan yang lebih baik' dengan melakukan tindakan 'membunuh'. Ia memang berpotensi menjadi Nazi dan melakukan tindakan yang sering disebut 'euthanasia liar'  (Etika Biomedis, K.Bertens), hal yang membuat Nazi dikutuk dan dikecam keberadaannya. Tapi, jangan lupa, tanpa Nazi kita tidak akan menikmati kemajuan ilmu pengetahuan kedokteran semaju saat ini. Nazi melakukan banyak percobaan ekstrem terhadap manusia yang, walaupun dalam prosesnya mengabaikan kemanusiaan, sangat bermanfaat bagi masyarakat. Gw ga menjustifikasi prosesnya yang salah, gw cuma mau menunjuk bahwa kita ga bisa memandang segala sesuatunya secara sempit, terburu-buru berkesimpulan, dan bertindak gegabah karena kadang batas antara sesuatu yang baik dan buruk bisa sangat tipis.

Apapun, Jack Kevorkian berhasil mengacaukan otak dan hati gw selama 3 jam penuh. Dan gw ga mengatakan itu hal yang buruk. ;)

Buat yang mau baca tentang Jack Kevorkian lebih lanjut bisa di sini: Jack Kevorkian Biography.