membunuhmu

saat detik terakhir meregang nyawa
akan kuhela sebilah nafas setajam pisau
kupastikan ia mati dan berlalu
seakan itu kamu

saat detik terakhir jatuh, gagal mengudara
akan kubiarkan ia bersuara
sebagai ganti jeritmu, kupastikan ia menderita
meraung dalam angkara

ada batas tipis antara mencinta dan membenci
sama seperti melupakan dan mencari
di satu titik mereka lebur
di satu titik mengulur
mengukur dan berdansa
terdiam
tersentak dan binasa

aku ingin membunuhmu
seperti duka yang diamdiam resap
kan kubakar kau hingga menjadi asap

menunggu sahabat

kali ini tak peduli seberapa jauh kuuntai kata
kau tak ada
kita tak lagi di balik jendela yang sama
kau terluka dan pergi meniada
sejenak, pintamu, dan kuberi kau waktu
akan kutunggu walau janjimu berlalu
sebab kali ini giliranku, sahabat,
atau kali ini tak layak kupanggil diriku satu?

tiga satu

sayang, kelak gumam ini pun akan tenggelam
bila hari ini usai biarkan aku lupakan
sebelum debu menjadi kenangan
dan sentuhan terekam untuk sewaktu menerkam
sayang
sayang
sayang
berulang kuucapkan, berulang kau lupakan
aku tiga satu
masih menunggu
setahun lagi berlalu.

spons

Setelah dipikir-pikir lagi, gw merasa diri gw mirip spons. Spons mungkin bukan kata yang tepat, sih, tapi paling tidak mendekati karakteristik gw.

Kalau ditanyakan ke orang-orang, biasanya opini yang mereka bentuk tentang gw bisa berbeda-beda dan sangat bergantung pada seberapa banyak yang mau gw tunjukkan atau seberapa kenal mereka dengan gw. Satu hal yang pasti diketahui orang yang cukup dekat dengan gw adalah bahwa gw merupakan orang yang berpendirian, jadi jelas spons tidak berarti gw punya karakter yang mudah mencla-mencle atau terbawa arus, ini soal yang lain.

Gw sering mendefinisikan orang-orang yang berteman dengan gw adalah orang yang aneh, tapi gw rasa istilah itu kurang tepat. Uniknya keterlaluan mungkin lebih tepat. Sebagian besar punya karakteristik yang serupa: keunikannya kurang bisa diterima lingkungan sekitar. Orang-orang yang demikian itu yang biasanya pertemanannya dengan gw awet dan dekat. Mungkin salah satu sebabnya adalah gw merasakan hal yang sama. Paling tidak dulu. Mungkin gara-gara itu juga seringkali gw bermanfaat sebagai tempat sampah, sebuah jabatan kehormatan buat gw untuk dipercaya mendengar curhat atau keluh kesah mereka. Sayangnya (dan gw telat menyadari) gw adalah spons, tipe pendengar yang bersimpati, bukan cuma berempati. Gw menyerap emosi si penc(d)erita, meresapi ceritanya, bahkan tidak jarang gw menangis cuma karena teringat cerita mereka dalam waktu dekat.

Tidak cuma urusan curhat dan teman yang kadang membuat gw kewalahan, berita dan cerita juga gw resapi seutuhnya. Gw bahkan pernah menangis heboh setelah membaca salah satu buku bergambar karangan Shel Silverstein. Pemandangan sekilas pun bisa membuat gw kepikiran dan terbawa emosi. Ini sangat salah, gw tahu, dan gw masih mencari cara yang sesuai agar emosi gw lebih mudah distabilkan. Salah satu sahabat gw menawarkan diri untuk jadi tempat sampah gw 24/7, tapi gw enggan. Pertama, karena kalau labilnya emosi gw terkait curhat orang, gw tidak bisa melangkahi privasi dengan membaginya ke orang ketiga. Kedua, gw tidak ingin membebani sahabat gw sementara gw tahu dia sendiri harus berjuang untuk hal-hal lainnya yang sekarang masih membutuhkan fokus. Gw punya kebiasaan berbagi kisah dengan ibu gw, tapi lama-kelamaan gw merasa gw harus mengurangi beberapa hal yang kesannya membebani dan malah membuat khawatir beliau, terutama karena keegoisan gw seringkali tanpa gw sadari membuat beliau lelah hati tapi tetap memaklumi.

Tadinya Twitter dan blog gw maksudkan untuk membantu gw mengatasi emosi dan berbagi pemikiran (yang pasti bukan dengan makian), tapi sepertinya gw memancing komentar tidak enak dan salah duanya adalah dari sahabat dan salah satu orangtua gw. Jadi, gw beresolusi untuk mengurangi aktivitas meredam emosi di Twitter, tetapi menulis di blog masih akan gw teruskan. Tulisan di blog ini pun, sebenarnya, tidak murni saat gw kalut lalu gw tulis. Ada proses. Gw tidak segegabah itu main-main di dunia maya, tidak lagi.

P.S: Spons mengucapkan selamat hari Ibu!
Gw anak yang beruntung karena daya serap kasih sayang gw juga tinggi. :)

bayang wayang

kunantikan malam hari yang segenap sepi
waktu yang tepat untuk memeluk bayangmu erat
kau tak pernah ada nyata, maka aku mencipta
bukan dari tanah dan nubuat, namun
dari luka-lukaku yang menganga kau kubuat
dari kenangan nafasmu bergemeretak hangat

aku akan tinggal
menemanimu hingga hari berganti
memimpikanmu di siang hari dan kembali menanti
malam hari, tempat kau berada

rinduku tak lagi bernama

ketika kau ucapkan seribu rindu padanya
ingatlah aku yang pernah menanti seribu hari lamanya

di linikala kau berbicara lantang
'biar semua tahu aku cinta padamu' katamu menantang
kau gila ketika jatuh cinta
aku jatuh cinta karena kau gila
semudah itu dan sesulit itu
karena kau tak pernah mencintaiku
sementara aku bergeming mencintaimu

seharusnya jarak meregang rasa
namun kali ini ia tak punya kuasa
seharusnya kala menghapus lara
namun kali ini ia pun enggan bersabda
aku masih
namun tak pernah cukup untukmu

kupukupu

inilah alasanku enggan mendekat
karena ketika kupegang erat kau sekarat

lupakan! jangan berjanji agar jangan kau mati
luka ini dan aku, kami satu
menunggu dalam kerapuhan, tapi bukan kamu

p.s: cukup aku yang meluka.
tak perlu kamu coba mendekat, aku takut bila
sayapsayapmu sampai tercekat lekat, sahabat!

november

1
ada batas tipis antara hujan dan airmata
namun hanya satu yang kuasa berdusta
untuk yang lainnya

2
setahun akan berlalu dan aku masih
seakan jarak tak cukup meregang rasa
setahun akan berlalu dan kau masih
menjadi luka yang mengembara
melintas dalam mimpi dan nyata

3
setahun akan berlalu, tapi buat apa?
aku masih menari di bawah hujan yang sama
langit yang sama
cinta yang sama