kami bergerak perlahan menuju singgasana
menunduk dalam murka yang tak punya kuasa
menapaki jalan berkerikil dengan dengkul penuh luka.
kemudian setitik lendir jatuh
dua titik lendir
tiga titik lendir mencipta genangan kotor
sepasang dengkul serupa bilah-bilah tulang
merayap perlahan tanpa suara
sepasang mata tanpa cahaya memandang hampa
p e r l a h a n
merayap.
aku memandang wajahnya lekat,
bocah laki-laki duabelas tahun
dengan lidah serupa tentakel gurita
menyembul di kiri wajahnya yang berlubang besar
dan dada robek dengan gumpal organ dalam berwarna kehijauan.
aku bertanya kepada bocah di sampingnya
"takkah kau lihat adik asuhmu ini sudah mulai membusuk?"
jawabnya,
"mereka datang untuk mati, terlalu cepat pula terganti. aku tak lihat, ataupun peduli."
No comments:
Post a Comment