Setelah dipikir-pikir lagi, gw merasa diri gw mirip spons. Spons mungkin bukan kata yang tepat, sih, tapi paling tidak mendekati karakteristik gw.
Kalau ditanyakan ke orang-orang, biasanya opini yang mereka bentuk tentang gw bisa berbeda-beda dan sangat bergantung pada seberapa banyak yang mau gw tunjukkan atau seberapa kenal mereka dengan gw. Satu hal yang pasti diketahui orang yang cukup dekat dengan gw adalah bahwa gw merupakan orang yang berpendirian, jadi jelas spons tidak berarti gw punya karakter yang mudah mencla-mencle atau terbawa arus, ini soal yang lain.
Gw sering mendefinisikan orang-orang yang berteman dengan gw adalah orang yang aneh, tapi gw rasa istilah itu kurang tepat. Uniknya keterlaluan mungkin lebih tepat. Sebagian besar punya karakteristik yang serupa: keunikannya kurang bisa diterima lingkungan sekitar. Orang-orang yang demikian itu yang biasanya pertemanannya dengan gw awet dan dekat. Mungkin salah satu sebabnya adalah gw merasakan hal yang sama. Paling tidak dulu. Mungkin gara-gara itu juga seringkali gw bermanfaat sebagai tempat sampah, sebuah jabatan kehormatan buat gw untuk dipercaya mendengar curhat atau keluh kesah mereka. Sayangnya (dan gw telat menyadari) gw adalah spons, tipe pendengar yang bersimpati, bukan cuma berempati. Gw menyerap emosi si penc(d)erita, meresapi ceritanya, bahkan tidak jarang gw menangis cuma karena teringat cerita mereka dalam waktu dekat.
Tidak cuma urusan curhat dan teman yang kadang membuat gw kewalahan, berita dan cerita juga gw resapi seutuhnya. Gw bahkan pernah menangis heboh setelah membaca salah satu buku bergambar karangan Shel Silverstein. Pemandangan sekilas pun bisa membuat gw kepikiran dan terbawa emosi. Ini sangat salah, gw tahu, dan gw masih mencari cara yang sesuai agar emosi gw lebih mudah distabilkan. Salah satu sahabat gw menawarkan diri untuk jadi tempat sampah gw 24/7, tapi gw enggan. Pertama, karena kalau labilnya emosi gw terkait curhat orang, gw tidak bisa melangkahi privasi dengan membaginya ke orang ketiga. Kedua, gw tidak ingin membebani sahabat gw sementara gw tahu dia sendiri harus berjuang untuk hal-hal lainnya yang sekarang masih membutuhkan fokus. Gw punya kebiasaan berbagi kisah dengan ibu gw, tapi lama-kelamaan gw merasa gw harus mengurangi beberapa hal yang kesannya membebani dan malah membuat khawatir beliau, terutama karena keegoisan gw seringkali tanpa gw sadari membuat beliau lelah hati tapi tetap memaklumi.
Tadinya Twitter dan blog gw maksudkan untuk membantu gw mengatasi emosi dan berbagi pemikiran (yang pasti bukan dengan makian), tapi sepertinya gw memancing komentar tidak enak dan salah duanya adalah dari sahabat dan salah satu orangtua gw. Jadi, gw beresolusi untuk mengurangi aktivitas meredam emosi di Twitter, tetapi menulis di blog masih akan gw teruskan. Tulisan di blog ini pun, sebenarnya, tidak murni saat gw kalut lalu gw tulis. Ada proses. Gw tidak segegabah itu main-main di dunia maya, tidak lagi.
P.S: Spons mengucapkan selamat hari Ibu!
Gw anak yang beruntung karena daya serap kasih sayang gw juga tinggi. :)
No comments:
Post a Comment