gambar malam







Sekian dan terima kasih.

P.S: siap-siap dicaci maki seangkatan. :D

siang kacau

" Mama kerampokan. "

Cuma butuh dua kata untuk mengacaukan siang hari gw, di tengah-tengah jam lab terapi relaksasi. Dikirim via nomor HP-nya yang jarang dipakai sejak menggunakan 2 nomor lainnya. Reaksi pertama gw adalah 'bercanda ya?' yang langsung berlanjut dengan panik, luar biasa panik. Apalagi pas gw tanya kenapa, ga ada jawaban.

Ini sudah kali kedua dalam kurun waktu setengah tahun belakangan ada tragedi kerampokan di keluarga gw. Yang pertama adalah pada saat gw, bersama ibu gw itu lagi naik mobil dan di jalan pulang ke rumah. Hari itu, karena STNK mobil yang biasa dipakai lagi diperpanjang, jadilah ibu gw nyetir mobil si Ayah. Apesnya, jalan yang sudah berkali-kali dilewati, entah kenapa di hari itu berubah jadi jalanan paling horor yang sampe sekarang masih bikin gw trauma kalau lewat sana. 3 orang, gedor-gedor kaca mobil dan langsung tarik putus 2 spion mobil kanan-kiri. Gw ga akan pernah lupa muka orang-orang itu, gw rasa itu muka setan. Baru sekali itu gw lihat muka yang penuh nafsu jahat sampai segitunya. Ternyata, pikir gw, manusia juga bisa berwajah seperti itu, ya.

Hari ini rencananya ibu gw itu mau mampir siang tadi, buat makan siang bareng karena kuliah hari ini selesai lebih pagi daripada biasanya. Cuma memang sebelumnya dia mau pergi ke salon. Nah, di perjalanan mau ke salon yang letaknya sekitar 45 menit dari rumah itu, tepatnya di bagian jalan yang masih sangat dekat dengan rumah gw, ibu gw kerampokan. Modusnya sebenarnya klasik: ada orang pura-pura bilang bannya kempes dan nunjuk-nunjuk ke arah mobil. Ibu gw ini orangnya sangat hati-hati, gw rasa itu juga efek tinggal di Jakarta berpuluh tahun, jadi biasanya setelah turun mobil pasti langsung dikuncinya mobil itu. Tapi entah bagaimana, gw juga cuma dengar ceritanya via telepon, tadi pas mau dikunci pada saat itu pula lewat orang bermotor di sisi sebelah pengemudi dan langsung angkut tas ibu gw beserta segala isinya. Motor dan dua orang itu langsung kabur ke arah yang berlawanan dengan arah mobil ibu gw.

Gw ga tahu ini kebetulan atau gimana, tapi gw bisa bilang ini berkat: kunci kamar yang biasanya langsung dimasukkan sama ibu gw ke dalam tas entah kenapa tadi bisa nyelip di bangku mobil. Jadilah ibu gw langsung balik rumah dan jadi bisa telepon untuk blokir kartu kredit, ATM, dan lain-lainnya. Dan karena HP dengan nomor yang sudah jarang dipakai itu ditinggal di rumah, makanya akhirnya ibu gw bisa sms kasih kabar. Ayah gw juga langsung balik rumah, terus kabar terakhir sih mereka sudah ngurus ke bank, lapor polisi, dan ngurus dokumen semacam KTP, dll.

Tadi sempat sahabat gw menyarankan gw balik ke rumah, tapi gw menolak. Gw ga bisa nyetir, ayah gw lagi jalan ke rumah, dan gw tahu kalau gw naik taksi pastilah ibu gw bakal makin khawatir. Terakhir telepon aja dia jadi paranoid, dia bilang dia khawatir gw juga ikut kenapa-kenapa, mengingat ada fotokopi dokumen gw di dompetnya dan salah satu HP-nya ga berpassword, pesan gw supaya jaga diri, hati-hati, kalau dirampok jangan ngelawan, dia bilang dia khawatir banget sama gw. That's just so my mother. Dia akan khawatir soal dirinya sendiri di saat paling akhir, bahkan pada saat dia yang harusnya dikhawatirkan. Tahu ga yang pertama kali ibu gw bilang saat telepon? " Maaf, ya, tas itu kan padahal tas kamu yang mama pinjem, jadi hilang juga.." dan sesorean ini, kata ayah gw, ibu gw ga bisa berhenti kepikiran HP-nya yang hilang. Bukan karena harga atau apanya, tapi karena HP itu hadiah gw dan ayah gw pas ulang tahunnya tahun ini dan cover yang dipakai itu dari gw.

Gw marah. Sama perampok-perampok itu. Sama diri gw. Berulang-ulang terjadi hal buruk sama ibu gw dan gw ga pernah bisa berguna buat dia. Gw merasa ga berdaya setiap kali gw gagal menjaga ibu gw dari hal-hal yang ga diinginkan. Dan gw malu gw sempat mempertanyakan ulang niat gw menjalani jurusan gw sekarang padahal motivasi awal gw juga karena gw ingin bisa berguna buat ibu dan keluarga gw. Kalau ini peringatan dari Tuhan, gw rasa ini tamparan keras, tapi gw ga pernah berharap harus begini caranya untuk memaksa gw tetap fokus pada tujuan hidup gw.

Gw rasa gw sudah mulai meracau.

Gw cuma berharap semua baik-baik saja, maksud gw, jangan ada yang begini lagi. Dan gw berharap gw dimampukan untuk melindungi keluarga gw, bagaimanapun caranya.

sekumpulan kata yang tak sampai 4

tentang mencintai

1
aku ingin mencintai tanpa dan atau karena.

2
iga yang menjelma itu kini tersesat,
mencari detak untuk dijaga. harus ke mana?

16-20.09.2011

sekumpulan kata yang tak sampai 3

tentang hilang

1
aku tak pernah menghilang, sayang,
cuma bersembunyi,
berharap kau menyadari.
coba cari aku dalam mimpi.

2
ada tak berarti sedia,
sama seperti kata bukan rasa.
tak peduli seindah apa kau rangkai, mereka tak pernah sama.

20.09.2011

sekumpulan kata yang tak sampai 2

tentang pergi

1
selamat tinggal yang paling sedih adalah selamat tinggal yang tak terucap,
kemudian
hampa.

2
merentang jarak
hanyalah cara kembali ke awal.
mengagumi tanpa mengenal.
tapi
kini
terasa ada yang kurang.

3
mungkin bukan aku saja yang sibuk mengurai kala.
mungkin kamu dan jamakmu pun sibuk berkelana.
di atas kertas,
di sebongkah
atau dalam mimpi.

4
seharusnya aku yang bertanya ketika serentang jarak tak kasatmata terbentang: apa kabar kamu?

16-18.09.2011

sekumpulan kata yang tak sampai 1

 1
garis-garis yang bertabrakan memisah diri, menyisakan koneksi.
hamparan tipis jaring-jaring tak utuh dan hempasan tinta yang semburat.

2
aku laut dan kamu gunung.
kita akan bertemu, tapi tidak sekarang.
kita akan bertemu saat wujud kita tak lagi merupa,
meluluh dalam gemuruh.

3
kita berenang.
aku di laut, kau di balik awan.
sesekali kita bertemu di dalam mimpi,
berpandangan tanpa sapa.
aku lupa,
bahasa kita berbeda.

17.09.2011

dunia maya saya

Gw, makhluk gaptek yang awet di dunia maya.

Sebagai alumni sebuah SMA yang, katanya, berbasiskan IT, gw jelas merasa gagal memenuhi standar pencitraan seorang alumni yang baik. Gw ga tahu bagaimana sekarang di sekolah lainnya, tapi gw ingat gw sampai sempat dipaksa mencicipi yang namanya pelajaran programming sederhana dengan Pascal dan Visual Basic. Gw juga ga kepikir bagaimana dulu bisa lulus ya? Sekarang yang gw ingat tentang programming cuma...apa yang gw ingat ya? Dua program itu dan AutoCAD, sebuah program yang katanya auto tapi ribetnya setengah mati. Padahal yang diajarkan ke kita waktu itu cuma bangun 2 dimensi, cuma bentuk persegi panjang yang pakai program Paint pun ga nyampe 1 menit jadi. Di AutoCAD, gara-gara urusan jurusan garis, pasti menggambarnya makan waktu lebih dari semenit dan menurut gw itu nyebelin.

Soal internet ga jauh beda. Dulu gw sudah bangga banget bisa lumayan paham HTML di masa SMP, tapi gw tetap berterimakasih pada siapa pun yang menciptakan FrontPage (iya, maksud gw Microsoft), paling ga rendahnya kepegalan tangan ga memperparah badai otak yang terjadi. Sempat belajar program HTML lain juga..DreamWeaver? Benar ga ya nama programnya? Sampai lupa, lho, soalnya kemampuan memang sudah balik ke nol lagi. Sayangnya manusia itu sungguh pandai dalam menjadi maju. Pada saat tercipta CSS, gw kibas-kibas bendera putih. Sori banget, gw ga ikutan. Berusaha cari-cari tutorial kode buat merombak sedikit blog ini aja udah bingung, ilmu yang dulu sedikit menempel waktu membuat blog lama sudah terbang entah ke mana, ditambah lagi gw pusing karena diri gw banyak mau.

Seperti semua anak sekolah, dare to be different itu dulu gw ucap biar merasa keren, tapi prakteknya, ya, lain lagi. Menjadi gaptek ga boleh menghalangi gw menjadi gaul, pikir gw saat itu. Jadi, terciptalah beberapa ketidakjelasan ala gw di dunia maya. Mulai dari web gagal yang kemudian ga bisa gw hapus padahal ada beberapa info yang menurut gw ga seharusnya gw letakkan di sana. Lanjut ke blog-blog gw yang kalau dilihat sekarang sih aneh-aneh lucu: blog pertama gw yang isinya sok nulis diary dan blog kedua gw yang bertahan sekitar 4 tahunan. Itu baru blog, belum lagi akun dunia maya yang dulu wajib dipunyai anak sekolah: Friendster, High5, MSN Messenger.

Pas masuk kuliah, gw ditodong membuat akun Facebook oleh para senior, katanya sudah ga zamannya lagi main Friendster. Setelah resisten cukup lama, gw beralih dari Friendster ke Facebook. Setelah masuk sebuah organisasi kemahasiswaan yang rapat dunia mayanya sungguh luar biasa banyak dan memakan waktu (rapat mulai pukul sepuluh malam dan berlangsung sampai subuh; gw rasa ga sedikit yang ketiduran pada saat rapat berlangsung, makanya kalau dari puluhan nama yang terlihat online tetap ga ada tanggapan yang diketik, ya, wajar aja menurut gw), gw dituntut untuk memiliki Yahoo Messenger. Terakhir gw merasa didesak kebutuhan dan akhirnya membuat akun Twitter juga. Satu yang masih berhasil gw tangkal hingga sekarang adalah mengganti gadget gw menjadi BlackBerry demi fitur BBM-nya yang sangat diagung-agungkan itu.

Gw sadar tuntutan dari lingkungan untuk mempunyai media sosial sangat berpengaruh dan gw merasa terbebani. Sedih, lho, bagaimana kami, para kaum non-BB, di kampus gw ketinggalan banyak berita penting. Ga punya akun Facebook artinya ga bisa melihat event yang akan datang, pengumuman kampus, dan berita teman-teman serta saudara. Ga punya akun Twitter artinya akan ketinggalan berita non-kampus dan mengurangi kecepatan mendapatkan info seputar kehidupan kampus. Kadang-kadang gw jadi berpikir, kenapa gw dikendalikan oleh lingkungan dan media sosial? Harusnya, kan, karena gw merasa ingin dan menikmati sarana-sarana itu maka gw memiliki akun di sana, tapi ini malah terbalik. Yang gw inginkan adalah tetap terjalinnya komunikasi dengan teman-teman, guru, saudara, dan kenalan gw tanpa privasi gw terlalu diusik dan ditelisik oleh mata-mata yang tidak berkepentingan. Nyatanya media sosial ideal seperti itu tidak ada, ada yang mesti dikorbankan. Menutup akun terlalu erat malah menghalangi komunikasi dengan teman-teman yang 'hilang', tapi terlalu lebar membuka akun juga malah mengundang orang-orang ga berkepentingan. :(

Gw mengingat-ingat lagi alasan gw membuat beberapa akun dunia maya yang gw rasa murni karena kemauan dan bukan karena tuntutan lingkungan. Blog salah satunya. Buat gw menulis itu terapi karena gw yang orangnya tidak pernah bisa terlalu terbuka tentang masalah pribadi, jadi lebih lepas dan lega saat menulis, menulis itu kebutuhan. Dulu, walaupun ga banyak dikunjungi, blog gw malah menjadi konsumsi orang yang bukan dari lingkungan nyata gw, artinya gw malah banyak ketemu blogger lain gara-gara blogwalking dan bertukar link. Menurut gw itu jauh lebih menyenangkan: bebas dari tekanan dan lepas dari segala tatapan menghakimi, baik disengaja maupun tidak oleh orang yang tiap hari bertemu dengan gw.

Kemudian tiba masanya gw berkenalan dengan microblog, Tumblr, yang praktis dan 'hening'. Tidak banyak yang tahu dan identitas tidak perlu banyak diumbar. Kecanduan, gw pun lebih banyak bermain di sana. Sisi negatif dari Tumblr yang akhirnya gw sadari adalah banyak sekali bertebaran pikiran negatif dan depresif, bukannya menyalurkan perasaan lama-lama gw ikut terbawa juga oleh pemikiran dan masalah orang lain. Masalah tersebut bercampur dengan kondisi gw yang sedang berusaha beradaptasi di kampus, terbawa ke blog kedua gw, isi blog gw ikut jadi aneh dan berantakan. Gw memutuskan berhenti menulis di sana.

Nah, baru-baru ini gw menyadari gw ga bisa terus-terusan nyampah di akun Tumblr gw atau  pun kembali memperbaiki blog gw sebelumnya. Di sisi lain, gw sepertinya membutuhkan media menulis dan penyaluran keluh kesah. Solusi gw: blog ini. Gw membuat blog yang satu ini dengan harapan gw bisa berefleksi dulu pada diri gw sendiri sebelum gw dengan impulsif menulis satu kalimat yang 'galau' karena mengalami suatu kejadian. Andaikata ga terhindarkan, gw ingin dengan tulisan galau itu gw juga mendapatkan sedikit pencerahan pribadi. Sejauh ini agak sulit menurut gw, untuk menulis 1 postingan baru aja gw bisa di depan laptop sampai 4 jam lebih karena ga ingin gegabah dalam bercerita atau membuat kata-kata, hasilnya ya masih berantakan juga. Tapi gw rasa ini juga proses belajar, baik dalam hal menulis secara sistematis maupun menata otak dan menyampaikan cerita lagi. Masalah ada pembaca atau ga, urusan belakangan. :)

Dunia maya saya: satu kunci, satu pengingat, dua nama, dua pernyataan hidup, dan dua cermin.

sombong

Selama beberapa hari belakangan otak gw 'penuh' dan gw pengen banget nulis. Judul-judul berkelebatan di kepala gw beserta isinya yang ga jauh dari keluh-kesah dan pikiran negatif. Maklum, minggu yang baru lewat adalah minggu ujian, ditambah lagi baru-baru ini memang banyak pikiran berseliweran di kepala.

Terus, hari ini pas gw ke rumah ibadah, gw baru sadar suatu hal:
Gw sombong. Terlambatkah kalau gw baru sadar sekarang?

Sebelum gw meneruskan, tolong jangan memiliki pikiran bahwa gw menulis ini untuk berkotbah atau mempromosikan agama tertentu. Dan jangan menilai bahwa tiba-tiba gw mendapatkan cahaya surgawi atau apa pun itu. Perenungan hari ini adalah akumulasi perenungan gw kemarin saat membaca buku On Death and Dying oleh Elizabeth Kubbler-Rose, kata-kata Tagore, dan beberapa kejadian di akhir minggu.

Tadi gw tersentak waktu lihat tema kotbah hari ini tentang bersyukur. Satu hal yang gw sadari sekali tentang diri gw adalah kurangnya rasa bersyukur, jadi gw pikir 'wah, pas juga nih'.

Kotbah dimulai dengan cerita Yunus. Nah, kalau dengar nama yang satu itu, di otak gw akan muncul gambaran laki-laki yang dimakan paus gara-gara bandel ga mau pergi ke sebuah kota yang katanya sih penuh dosa.

Kebetulan gw sempet nekat foto interpretasi Dali atas kisah Yunus. Lebih kurang yah beginilah isi otak gw kalau dengar kata Yunus. Ga, isi otak gw ga se-artistik ini, kok. Maksud gw adalah gw selalu terbayang rumusan yang sama: 1 laki-laki dikejar 1 paus super besar, di laut.

Gw ga inget cerita lainnya tentang proses 'ngeyelnya' dia berikut ini: Yunus sampai di suatu daerah mengeluh kepanasan dan bete gara-gara Tuhan masih ngotot meminta dia pergi ke Niniwe. Tuhan kemudian menumbuhkan pohon jarak dalam semalam untuk menaungi dia. Seperti semua manusia, fisik yang adem otomatis membantu hati jadi ga panas, dia pun senang. Kemudian Tuhan mendatangkan hama yang membuat pohon tersebut jatuh plus menghembuskan angin gurun yang panasnya luar biasa. Yunus, seperti yang sudah bisa ditebak, kecewa dan marah. Tuhan bertanya kenapa Yunus mesti marah dan kehilangan sesuatu yang bahkan ada tanpa usahanya? Lalu, kenapa Tuhan ga boleh mengutus dia untuk menyelamatkan orang-orang di Niniwe yang Tuhan ciptakan dan kasihi? Dikatakan Yunus ga mau pergi karena di dalam pikirannya kenapa dia yang selama ini sudah kerja keras menyebarkan 'suara Tuhan' malah disuruh ke kota yang secara iman bobrok dan 'ga tertolong lagi'. Ibaratnya sudah kerja keras, kok, imbalannya malah makin disiksa?

Satu kisah lagi adalah tentang pemilik perkebunan anggur yang mencari pekerja. Dari subuh sang pemilik turun sendiri ke jalan untuk menawarkan pekerjaan. Segera, kloter pertama terkumpul dan mereka setuju dengan upah 1 dinar, mereka pun mulai bekerja. Namun, sang pemilik yang berjiwa sosial ini turun lagi untuk mencari orang-orang yang dapat bekerja di ladangnya, hingga terkumpullah beberapa kloter dan kloter terakhir bekerja 1 jam saja. Sore harinya, sang pemilik meminta anak buahnya untuk membagikan upah mereka, dimulai dari kloter yang terakhir. Mereka mendapatkan 1 dinar. Ketika pembagian upah sampai pada kloter pertama, mereka pun masing-masing mendapatkan 1 dinar sebagai upah bekerja. Lho? Kenapa yang bekerja dari subuh dan yang bekerja hanya 1 jam sama saja upahnya? Mereka memprotes (yang menurut gw wajar). Tapi tunggu dulu...Dari awal kloter pertama sudah setuju dengan upah mereka yang 1 dinar itu. Sang pemilik berkata kenapa mereka harus sewot atas kemurahan hatinya kepada kloter-kloter lainnya. Meminjam bahasa kasarnya: 'lha, ini kan uang gw, suka-suka gw donk mau gw pakai dengan cara apa?' Lagipula, pekerjaan itu diberikan pada mereka oleh sang pemilik. Tanpa pemilik yang turun langsung ke jalan, mereka tidak akan beroleh pekerjaan tersebut.

Pada saat gw dengar 2 cerita itu, gw merefleksi diri gw dan merasa malu. Selama ini gw sudah sangat sombong dan yang seram adalah gw ga sadar kalau gw sudah sangat sombong. Seberapa sering sih gw mengeluh kenapa pencapaian gw tidak sebesar teman-teman gw? Kenapa gw serba separuh-jadi? Kenapa sih gw ga ketemu juga sama jodoh gw padahal orang lain udah berapa kali ganti pasangan? Kenapa sih nilai gw cuma segini? Sering, sering sekali. Dan semuanya memakai embel-embel: padahal kan gw sudah berusaha, padahal kan gw sudah mengorbankan (x, y, z, banyak sekali variasi isiannya), padahal kayanya muka gw walaupun ga cantik tapi mendingan daripada dia. Sambil mengeluh, gw ga lupa untuk meninggikan diri gw.

Di sisi lain, seberapa seringkah gw benar-benar merasa bahwa Tuhan benar-benar membantu gw? Pada saat gw mendapatkan sebuah prestasi, bibir gw bisa aja mengucap 'iya, aduh, ini juga berkat Tuhan' tapi di hati gw ada rasa bangga berlebihan yang menggumam 'usaha gw ga sia-sia kan, sekarang kalian lihat sendiri'. Pada saat gw mau melakukan sesuatu gw mengucap doa wajib 'untuk kemuliaan Tuhan', tapi begitu gw berhasil melewati peristiwa tersebut dengan sukses ceritanya jadi berbeda. Yang gw ceritakan ke orang adalah usaha gw, proses gw bekerja, hal-hal yang menurut gw adalah kelebihan gw yang membawa gw ke titik itu. Bersyukur dalam hati cuma tinggal cerita. Betapa sombongnya gw dan, walaupun pedih gw ucapkan, betapa munafiknya gw.

Pada akhirnya gw sadar bahwa gw masih kekanak-kanakan. Kalau ada berkat, tangan gw langsung menengadah. Begitu ada masalah, gw lari. Kalau ada pencapaian yang gw dapatkan, dengan pongahnya gw maju ke depan buat terima pujian. Begitu gw dihadapkan pada kegagalan, gw langsung buang muka, tutup telinga, pura-pura ga tahu. Bukannya berusaha memahami keadilan dari Tuhan Yang Maha Adil, gw memaksakan keadilan versi gw untuk diaplikasikan di hidup gw. Saat hal itu tidak terjadi, gw marah-marah dan ngambek.

Karena kesombongan gw, gw seringkali menolak melihat masa sekarang, tapi asyik mengingat pencapaian apa yang telah gw dapatkan. Sementara itu, orang lain sibuk merancang dan bekerja keras mewujudkan pencapaian-pencapaian lain. Jadi, begitu gw menengok lagi ke masa sekarang, gw tertinggal dan merasa gagal. Gw akan banyak ngomel dan sedikit bekerja karena gw merasa sudah banyak usaha gw, tapi kok tetap saja gw stuck di titik awal. Lama-lama gw ga bisa lepas dari lingkaran setan yang membuat gw makin lama makin tidak produktif.

Masih berkaitan, tadi adik kelas gw sempat menulis di Twitternya sesuatu yang sederhana, yang kadang terlupa: segala sesuatu berlaku timbal balik, nggak bisa kita meminta terus tanpa pernah memberi. begitupun sebaliknya. Setelah gw ingat-ingat lagi, gw sungguh banyak menuntut. Salah satu sahabat gw sering mengirimkan gw sms untuk sekedar menyapa dan ngobrol karena dia kesepian tinggal di kos, sementara setiap weekend gw akan pulang ke rumah. Entah kenapa, gw malas untuk membalas sms-nya, padahal dia cuma butuh teman dan seharusnya gw bisa ada untuk dia. Padahal gw sering mengeluhkan ga ada teman ngobrol, 'hape sepi', dan lain sebagainya. Halooo, seberapa hebatnyakah gw untuk menuntut orang lain memperhatikan gw sementara untuk seorang sahabat gw enggan mengeluarkan energi mengetik beberapa kata?

Gw harus berubah. Memulai lagi dari awal walaupun sulit karena gw terbiasa berpikir muluk. Dimulai dari hal yang sederhana dulu gw rasa, keluarga dan sahabat-sahabat gw.Lalu, belajar berdoa dan bersyukur lagi. Semoga kepala dan hati gw yang batu ini mau gw ajak bekerjasama. :)

"We read the world wrong and say that it deceives us"
- Tagore

tahun ketiga

22 Agustus 2009 & 24 Agustus 2009


18 September 2010
 23 September 2011

Ada di sana untuk Gute Nacht, untuk Fallin', kali ini akan menunggu kejutan dari M. :)

pelengkap: maaf

Sebenernya gw nulis bagian 'sepenggal: maaf' bareng sama tulisan ini dan sangat berniat menulis tentang maaf karena kejadian yang akan gw sertakan berikut, tapi entah kenapa kemaren pas mau gw posting, gw merasa ragu. Setelah dipikir-pikir lagi, sepertinya tetap perlu gw masukkan deh..

Salah satu teman baik gw punya hobi yang terbilang agak aneh nan ajaib, dia suka bilang kata maaf dalam paket: "maaf, ya, maaf, maaf" dan dalam frekuensi yang terbilang sering. Yang dengar aja suka cape sendiri dan suka bingung kenapa, sih, harus sering banget bilang maaf ( itu dan keanehan dia lainnya, seperti bilang 'makasih' kalau dimintain tolong buang sampah). Kita semua berkesimpulan dia sebenarnya anak baik yang memang agak aneh aja. Yah, ga heran juga sih dia mau jadi sahabat gw ( adalah aturan ga tertulis kalau teman dekat gw pasti aneh, simply karena katanya gw aneh; gw harus bangga atau sedih ya?).

Setelah nyaris 3,5 tahun bersahabat, baru sekitar 2 minggu lalu gw berkesempatan denger alasan paket maafnya. Itu pun setelah kita ngobrol buka-bukaan yang, percaya ga percaya, ga pernah kita lakukan sebelumnya. Tapi kita benar sahabatan. Rasanya agak aneh juga, sih, kalau dipikir lagi, jadi selama ini kita ngapain aja? Pertama-tama gw bilang gw sering 'kepikiran': takut berbuat salah ini-itu, takut menyinggung orang, takut dinilai jelek. "Nah, itu dia alasan gw selama ini sering ngomong maaf!" katanya. Oh, gitu! Ternyata kita sama ya, cuma beda reaksi: gw tipe kepikiran ribet dan menyiksa diri karena memilih mingkem dan terus-terusan merenungi apa ada yang salah, dia tipe kepikiran praktis yang merasa daripada makin salah lebih baik langsung hajar 'maaf' saja.

Gw belajar hal baru di situ. Lagi-lagi gw jadi ingat ga boleh nge-judge orang, kalau perlu tanya ya tanya deh sampai puas, daripada penasaran, asumsi dini, dan ujung-ujungnya salah ambil kesimpulan.

Sebenarnya yang buat gw jadi niat banget nulis soal maaf ini adalah peristiwa yang lebih baru lagi terjadinya, ga lama setelah gw memahami makna 'maaf'-nya teman baik gw. Kejadiannya lucu-lucu ga lucu, susah dideskripsikan:

Teman Kenalan Sebut saja X adalah teman baru kakak gw, yang kemudian dikenalkan ke gw sekitar sebulan lalu. Awalnya gw pikir dia aneh, terus gw pikir dia baik, terus dia membuat keanehan yang sungguh membuat gw sangat 'jlegerrrrrkabooommmzzzzzzzdhuaaaaar' (maksudnya gw emosi jiwa, cuma gw udah bingung bagaimana cara jelasinnya). 

Cerita bermula di hari kedua X pulang ke kampung halaman, dia telepon. Awal telepon muka gw masih senyum. Gw pikir, wah baik juga si X, katanya sibuk jaga toko masih sempat aja telepon buat ngobrol ga jelas dan tanya kabar. Ternyata, saudara-saudara, gw berakhir sebagai pendengar suasana toko alias disuruh tunggu dia bantu-bantu. Pertama-tama cuma 5 menit, lama-lama ada mungkin sekitar 20 menit gw bengong pegang HP. Astaga, deh. Disuruh tutup dulu juga ga mau. Bagus. Sabar, sabar, gw pikir. Padahal, seandainya kesabaran gw itu disamakan dengan IQ, pasti gw dibilang IQ jongkok. 

Kejadian selanjutnya lebih menguji mental, karena, entah ide dari mana, tiba-tiba X bilang, 
"Coba deh ngomong sama nyokap gw.

Gw hening, terus gw tanya dia,

"Buat apaan ya? Terus gw mau disuruh ngomong apa?" 
"Jawab aja: Tante, nama saya *nama gw*. Saya temennya X."
"Ga mau, aneh banget!"
"Wah, loe ga sopan loe! Harusnya loe tuh belajar dari orang daerah, sopan!" *nada menggurui*

Gw bingung. Sungguh.

Sejenak sambungan terputus.

"Nyokap gw mau tanya topik yang di tugas kuliah loe barusan tuh, jelasin ya!"
"Gw jelasin ke loe, nanti loe yang jelasin ya."
"Gw loudspeaker aja ya?"
"Oh, boleh, deh."
"Wah, ga sopan loe!"

Gw ga bingung lagi, gw bete.
Maksudnya, tuh, gimana ya? Apakah dengan memilih tidak bersikap tidak wajar dan tidak sok kenal itu salah? Bahkan niat buat, paling ga, 'ngasih intro' dulu aja ga ada. Dan gw yang dibilang ga sopan. Gw ga mau banyak omong, jadi pas sambungan terputus lagi, gw memilih tidur dan ga bilang apa-apa. Gw berencana menjelaskan ketidaksukaan gw kalau tatap muka lagi. Menjelaskan prinsip di telepon adalah jaminan terjadinya miskomunikasi.

Fast forward ke kejadian di mana kata maaf terlibat dalam sebuah perbincangan telepon.
"Kayanya gw bikin salah sama loe ya?"
"Oh, emang bikin salah apa?"
"Ga tahu juga sih, emang bener ya? Maaf ya!"

Dan dia tertawa ngakak. Maksudnya? Gw langsung lemas.

"Kenapa ketawa yah?" tanya gw.
"Ups, maaf. Tapi emang bener ya gw ada salah sama loe?" *nahan ketawa*
"Lho, emang ngerasa ada salah?"
"Kayanya lho ya, pas terakhir gw telepon itu ya?"
"Masa sih?"
"Iya, apa ya salah gw?"
"Kalau ga berasa salah kenapa minta maaf, ya?"

Otak gw mulai berantakan.

"Jadi bener ya? Hahahaha..habis gw pelupa sih! Maaf ya..hahahaha!"

Gw konfirmasi: 'hahahaha' di atas adalah tertawa. Gw langsung niat cakar-cakar mukanya. Kesabaran gw nampaknya sudah pada tingkat gali kubur sendiri. 

Hari ini sudah beberapa hari setelah kejadian naas itu dan gw masih merasa horor aja kalau kebayang ketawa ngakaknya itu, mungkin dia pernah kena benturan hebat di kepalanya? Atau memang dia agak berbeda? Gw ga akan pernah tahu. Tapi, sesuai pembelajaran gw, gw ga akan nge-judge.  Dan kali ini..ga berani kalau disuruh berurusan lagi sama orangnya, sih. Dimaafkan sajalah dalam hati. :)

karena kita manusia

1
telah selalu berarti saya sudah
maka jangan hakimi saya karena
saya sudah mencoba, tapi maaf
telah saya putuskan untuk berhenti
saya tidak mengerti apa
yang harus saya perjuangkan, kenapa
saya harus mempercayai Anda?

2
di kejauhan masa
ketika kata berubah jadi makna dan
kemudian mewujud nyata
kita dikutuk, Saudara, untuk mengundang
ajal nyata yang pertama
katakan pada mereka
ini bukan salah siapa-siapa,
semata karena kita manusia.

3
jangan lagi Anda tanya mengapa
ini pilihan saya, membuat percaya tiada
membunuhnya dengan tangan saya
agar kata kita mengada.

sepenggal : maaf

Mungkin bagi sebagian besar orang ga ada perbedaan arti dalam pengucapan kata 'sori' dan 'maaf'. Bahkan seringkali maknanya berkurang jauh. Kalau ga bisa dibilang terjun bebas. Entah kenapa gw akhir-akhir ini sering banget ketemu dua kata itu dan gw jadi berpikir ulang...

Ini mungkin pemikiran gw sendiri, tapi dari kecil gw selalu membuat tingkat minta maaf di kepala gw. Sori dan maaf yang buat orang lain maknanya sama, buat gw punya sedikit perbedaan. Sori adalah kata yang gw ucapkan kalau gw ga sengaja senggol orang dan hal-hal yang menurut gw sifatnya sepele. Sementara maaf lebih berat, lebih dalam, lebih berarti. Pengucapannya juga harus lebih hati-hati. Contohnya, kalau  sampai ada yang sakit hati karena memang gw bersikap terlalu keras atau gw berbuat kesalahan fatal dan sangat merugikan.

Dan lagi, sori maupun maaf adalah bentuk penyesalan yang terucap. Kalau sampai mengucap kata-kata itu, artinya gw menyesal. Menyesali sikap atau kata-kata yang kemudian gw nilai ga pantas, menyesali sikap atau kata-kata yang merugikan dan menyakiti orang lain, atau kedua-duanya. Penting buat gw untuk bersikap selayaknya orang yang menyesal. Selayaknya orang yang meminta, gw mengharap permintaan gw akan dipenuhi: menerima maaf dari yang dirugikan. Gw ga akan bersikap mau kabur karena gw ada di sana untuk bersikap konsekuen terhadap sikap gw. Gw ga pernah berpikir untuk tertawa pada saat gw minta maaf. Karena, apa yang lucu dari minta maaf? Kecuali maaf cuma sekedar kata-kata yang terasa wajib dan jadi terasa janggal saat diucapkan.

Mungkin gw hidup di masa yang salah, mental gw mental kolot. Buat gw permintaan maaf itu masih dan tetap istimewa. Buat orang lain? Kadang gw berpikir sekarang permintaan maaf sudah dilacur, diumpankan cuma buat cari selamat.

mati ?

Kalau ada yang bisa membuat gw merasakan jatuh cinta dan benci pada saat bersamaan, gw rasa orangnya adalah Jack Kevorkian.

Pagi ini dosen etika gw memutuskan untuk memutarkan sebuah film yang berkaitan tentang etika seputar akhir kehidupan, 'You Don't Know Jack'. Di awal film gw sempat merasa bosan dan bingung, sebagian karena adegan yang melompat dari seorang pasien yang tergeletak dengan alat penyokong kehidupan ke adegan sekumpulan kakek-kakek bermain kartu, sebagian lagi karena teks terjemahan yang serba berantakan.

Hal pertama yang menarik perhatian gw dari film ini adalah musik latarnya yang kebanyakan adalah lagu klasik yang cukup familiar di telinga, terutama Cello Suite No.1-nya Bach (dari antara semua musik klasik, favorit gw adalah Bach). Hal selanjutnya adalah kematian, pernyataan bahwa Bach adalah tuhan bagi Jack Kevorkian, sekilas pernyataannya tentang Nazi, dan lukisan karyanya. Gw ga tahu persisnya mana yang membuat gw merasa terguncang dan merasakan badai di dalam diri gw.

Ada dua hal yang diperjuangkan oleh Kevorkian: donor organ dan kematian atas pemintaan pasien. Namun, ia akhirnya lebih terfokus pada hal terakhir. Kematian, menurut Kevorkian, merupakan pilihan dan hak seseorang. Buatnya, seseorang layak mati dengan bermartabat dan tanpa rasa sakit. Ia memfasilitasi kematian para pasiennya dengan alat ciptaannya sendiri yang dinamai Thanatron ( thanatos = kematian ) dan setelah izinnya dalam mendapatkan potasium klorida dicabut, dengan Mercitron. Alat pertama terdiri dari 3 tabung yang masing-masing berisikan saline (cairan yang menyerupai cairan tubuh manusia), obat tidur, dan potasium klorida ( akan merusak kelistrikan jantung sehingga jantung berhenti berdenyut dalam sekejap). Mercitron memanfaatkan karbon monoksida konsentrasi tinggi yang nantinya membuat sel darah merah berhenti mengikat serta menyuplai tubuh dengan oksigen, tubuh akan lemas dan berakhir dengan kematian yang juga tanpa rasa sakit. Pasien diminta menarik sendiri tuas tertentu untuk memulai proses kematiannya.

Atas praktiknya ini, Kevorkian yang kemudian dijuluki Dr. Death, berkali-kali berurusan dengan polisi dan mengalami penuntutan, bahkan sempat ditahan dan menjalankan aksi mogok makan.  Namun, ia tetap bisa lolos karena sebenarnya yang dilakukannya adalah bunuh diri-berbantuan (assisted suicide): ia tidak menyarankan serta membunuh pasien, namun memfasilitasi permintaan pasien. Bertahun-tahun lembaga hukum setempat berusaha membatasi usahanya hingga akhirnya mereka mengadakan perundangan yang isinya dengan tegas melarang euthanasia. Gw ga berkesempatan nonton filmnya hingga selesai, jadi gw menelusuri internet dan menemukan bahwa akhirnya ia dipenjarakan sejak tahun 1999 hingga tahun 2007 atas tuduhan pembunuhan tingkat kedua dan pengedaran substansi di bawah kontrol. Hal ini karena, berbeda dengan pasiennya yang lain, ia akhirnya melakukan euthanasia pada Thomas Youk (Kevorkian sendirilah yang menyuntikkan substansi yang menyebabkan kematian), ia pun terganjal perundangan yang berlaku.

Seperti yang gw bilang sebelumnya, gw punya ketertarikan khusus dengan kematian. Menurut gw kematian itu identik dengan kepastian dan kepastian adalah hal yang memberikan perasaaan nyaman buat gw. Terus terang, gw ga ngerti dengan pemikiran Chairil Anwar yang 'ingin hidup seribu tahun lagi'. Setiap hari di hidup kita, kita terombang-ambing dalam ketidakpastian masa depan, kita dituntut untuk berjuang dan bertanggung jawab, mulai dari diri kita sendiri hingga ke banyak hal. Singkatnya, hidup itu susah: 'kalau loe ga sakit, loe ga hidup'. Itu pendapat gw yang sehat mental dan fisik, jadi gw bisa mengerti betapa menderitanya orang-orang dengan penyakit terminal atau sangat berat yang akhirnya mencari pertolongan dokter untuk melancarkan kematian mereka.

Pasien pertama Kevorkian, Janet Adkins, seorang istri dan ibu yang divonis menderita Alzheimer, penyakit yang mengikis ingatan seseorang perlahan-lahan. Obatnya? Belum ada. Janet mengaku ga tahan, dia merasa makin lama makin 'tersesat' dan dia tahu suatu saat dia akan terbangun ga mengenali keluarganya, dia akan selalu sendirian. Pasien lainnya merupakan penderita Lou-Gehrig syndrome, penyakit yang perlahan-lahan melumpuhkan kemampuan otot tubuh dimulai dari bagian terbawah. Pasien dengan penyakit ini akan mati karena sesak nafas akibat tidak berfungsinya otot pernafasan. Obatnya? Juga belum ada. Apa makna hidup kalau cuma bernafas dan sehat fisik? Apa artinya hidup kalau terkekang penyakit yang sudah pasti akan menyiksa kita sampai mati? Jeritan minta tolong inilah yang direspon Kevorkian sebagai dokter. Dalam pandangannya, lebih manusiawi memfasilitasi sebuah kematian ketimbang membiarkan pasien dengan mati serebral (hanya batang otak yang berfungsi) mati kehabisan nutrisi setelah alat penunjang kehidupannya dicabut.

Selalu ada perdebatan tentang keputusan yang harus dilakukan dokter, karena dokterlah yang menggenggam kendali untuk tidak melakukan atau melakukan suatu tindakan terhadap pasiennya. Selalu ada dilema antara menjalankan otonomi pasien atau tetap menjalankan apa yang baik secara medis. Banyak pihak mengecam tindakan euthanasia dan bunuh diri-berbantuan karena menilai bahwa cara-cara tersebut tidak tepat dikatakan sebagai 'kematian yang bermartabat', bahwa kebanyakan pasien dengan penyakit berat tidak berkemampuan memutuskan sesuatu secara bijaksana. Di sisi lain, kita juga harus memikirkan derita pasien dan hak pasien yang, sebagai manusia, memiliki pemikiran dan hak-hak atas dirinya sendiri. Lagi, tidak ada yang bisa memastikan apakah benar pasien dengan penyakit berat yang menginginkan kematian sesungguhnya hanya membutuhkan perhatian. 

Pada suatu kesempatan Kevorkian mendapat pertanyaan: "You are saying doctors play God all the time?" , yang kemudian dijawab, "Of course. Anytime you interfere with a natural process, you are playing God." Kevorkian berkeyakinan apa yang dilakukannya adalah yang terbaik buat pasiennya. Bahwa kemudian ia dinilai playing God, ia merasa bahwa semua dokter sesungguhnya melakukan hal yang sama.

Gw mengagumi jatuh cinta sekaligus benci Kevorkian yang dengan arogan menantang orang-orang yang memandangnya sebelah mata. Gw jatuh cinta karena sikapnya yang sampai akhir memegang prinsip membantu pasien sepenuh hati dan sikapnya yang pantang menyerah, semua yang dilakukannya bukan semata karena ia mengharapkan uang, tapi karena niatnya dalam melayani pasien, niatnya untuk tetap memperlakukan seseorang sebagai manusia hingga akhir hidup orang tersebut. Kevorkian adalah seorang yang bisa dikatakan jenius, namun ia memilih untuk mendedikasikan tahun-tahun kehidupannya demi mengikuti hati nuraninya, bersusah payah berurusan dengan hukum, bahkan sampai dipenjara sementara dokter lain mungkin bisa merintis karir yang sukses dengan kemampuan dan waktu yang sama.

Satu adegan yang tidak terlupakan dari film 'You Don't Know Jack' adalah saat Kevorkian, masih terpukul oleh kematian kakak perempuan yang selalu setia mendampinginya (ia tidak pernah menikah), lagi-lagi ditahan oleh polisi dan memutuskan untuk mogok makan. Di dalam penjara, ia membuat sketsa dan rancangan klinik bantuan kematian walaupun semakin hari daya pikirnya semakin menurun karena tidak adanya asupan nutrisi, walaupun ia masih merasa hancur dan sedih. Jack Kevorkian, yang di filmnya diperankan oleh Al Pacino, kelihatan sekali sudah nyaris mencapai limitnya, tapi ia tetap bertahan pada prinsip dan aksinya.

Kevorkian tetap manusia, ia juga melakukan kesalahan. Penyelidikan mengatakan beberapa pasien Kevorkian sesungguhnya tidak bisa dikatakan sebagai pasien terminal maupun berpenyakit berat, walaupun Kevorkian sudah berhati-hati dan menolak pasien yang depresi dan dianggap tidak kompeten dalam membuat keputusan sendiri. Ia hanyalah manusia yang menolak adanya Tuhan, berpendapat tuhannya adalah Bach , karena masa kecilnya yang pahit. Kalau ada yang membuat gw merasa benci adalah pernyataannya bahwa manusia datang dari ketiadaan, sehingga kembali ke ketiadaan seharusnya tidak menjadi perkara besar.
Beberapa orang mencela Kevorkian karena ia sendiri memilih tidak menjalani euthanasia ataupun bunuh diri-berbantuan saat ia tergerus oleh kanker hati di akhir hidupnya. Gw menilai ini sebagai komentar yang picik. Kita tidak harus melakukan sesuatu yang tidak kita butuhkan hanya karena kita menolong orang lain mendapatkannya, saat mereka benar membutuhkannya. Setiap orang memiliki kebutuhan dan limit yang berbeda-beda.

"Seandainya yang terbaring dengan alat bantu hidup adalah saya, apakah kamu akan meminta dokter mencabutnya?" merupakan pertanyaan Margo, kakak Jack Kevorkian saat ia baru akan memulai karirnya sebagai Dr. Death dengan Thanatron. 
"Ya," jawab Kevorkian dengan mantap.

Ada banyak sisi yang membuat gw ga bisa memutuskan apakah gw mendukung atau menolak tindakan euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Sisi manusiawi gw mengatakan gw menyetujui tindakan tersebut. Buat apa menunda sesuatu yang sudah mendekat dan memilih memperpanjang penderitaan.  Di sisi lain, walaupun gw pendosa, gw percaya Tuhan, jadi gw mengandaikan pasien tersebut adalah gw. Apakah gw ga melakukan dosa dengan niat mati gw? Euthanasia dan bunuh-diri berbantuan memiliki prinsip 'atas kemauan pasien', dengan kata lain apapun namanya, hal tersebut merupakan tindak bunuh diri. Sebagai manusia, punya hak apa gw menentukan bahwa gw sudah harus mati? Bahwa gw sudah mencapai limit gw? Apa itu bukan melecehkan Tuhan namanya?

Kemudian gw teringat permintaan Ibu gw, kalau sampai terjadi mati serebral, ia memilih ga dipasangi alat penunjang kehidupan (juga, kalau sampai ia terkena kanker stadium lanjut, ia memilih menjalani sisa hari dengan tenang tanpa kemoterapi). Apakah gw akan dengan rela meluluskan permintaannya bila hal itu benar-benar terjadi? Jelas gw ga akan semudah itu mengatakan ya, seperti yang dikatakan Kevorkian. Nah, jika gw bertindak sebagai dokter, jelas jadi susah mengamini keinginan mati karena sebenarnya terbukti gw berpikir 'masih ada yang bisa diusahakan'. Sebaliknya, gw juga ga bisa mengatakan dokter yang berlaku seperti Jack Kevorkian yang 'membunuh' atau dokter yang mencabut alat bantu hidup (sering dikatakan tindakan 'letting die') sebagai orang yang tidak berhati nurani ataupun salah.

Jack Kevorkian seringkali dituding berlaku bak Nazi oleh pihak kontra karena ia dinilai bertindak dengan alasan 'untuk  masa depan yang lebih baik' dengan melakukan tindakan 'membunuh'. Ia memang berpotensi menjadi Nazi dan melakukan tindakan yang sering disebut 'euthanasia liar'  (Etika Biomedis, K.Bertens), hal yang membuat Nazi dikutuk dan dikecam keberadaannya. Tapi, jangan lupa, tanpa Nazi kita tidak akan menikmati kemajuan ilmu pengetahuan kedokteran semaju saat ini. Nazi melakukan banyak percobaan ekstrem terhadap manusia yang, walaupun dalam prosesnya mengabaikan kemanusiaan, sangat bermanfaat bagi masyarakat. Gw ga menjustifikasi prosesnya yang salah, gw cuma mau menunjuk bahwa kita ga bisa memandang segala sesuatunya secara sempit, terburu-buru berkesimpulan, dan bertindak gegabah karena kadang batas antara sesuatu yang baik dan buruk bisa sangat tipis.

Apapun, Jack Kevorkian berhasil mengacaukan otak dan hati gw selama 3 jam penuh. Dan gw ga mengatakan itu hal yang buruk. ;)

Buat yang mau baca tentang Jack Kevorkian lebih lanjut bisa di sini: Jack Kevorkian Biography.

sebuah dongeng


...buat kucing hitam yang kena flu. 

Pada zaman dahulu kala hiduplah seekor kucing hitam di sebuah rumah yang terletak di tepian hutan. Pada siang hari ia akan bepergian, menjelajah dan berkelana. Ia bertemu banyak orang dan bertukar berita dan bermain serta bekerja. Kadang ia lupa dan pulang terlalu larut. Kadang ia terlalu asyik memandang wajah malam yang berganti jadi kelembutan pagi dan baru beranjak tidur di kala embun pertama tiba.

Hingga suatu malam saat ia beristirahat di rumah mungilnya, ia menyadari ada yang berbeda. O ow, ternyata si Kucing Hitam terkena flu. Ia meletakkan kedua cakarnya di kepala. Hm, ada yang salah dengan kepalaku, pikirnya, dan kenapa dahiku terasa panas? Ia memegang perutnya, kruk..kruk..kruk..Bunyi perutnya memecah keheningan rumah. Waduh, si Kucing Hitam kelaparan rupanya. Sekarang bagaimana? Si Kucing Hitam mengambil kompres dan meletakannya di kepala, segera ia bersembunyi di bawah selimut tebal. Tapi, aduh...perutnya yang kelaparan tetap meronta.

Tiba-tiba...

Tok, tok, tok..

Suara pintu diketuk. Sebuah wajah mengintip dari balik jendela.
Ternyata itu si Kelinci, teman baik si Kucing Hitam!

Hop, hop, hop.

Si Kelinci melompat ceria dan menghambur masuk rumah si Kucing Hitam.
Lihat, lihat apa yang kubawa, katanya, permen bintang!

Permen bintang? Si Kucing Hitam bertanya-tanya.
Tak tahukah kamu? Kemarin malam adalah malam istimewa dalam satu tahun, malam dilepaskannya anak-anak bintang. Beberapa akan meluncur ke lapisan langit yang lebih tinggi. Sebagian besar akan menggantikan tempat bintang-bintang yang telah renta dan menerangi langit malam. Namun, selalu ada yang terjatuh ke bumi dan menjadi permen, terserak di hamparan padang-padang rumput.

Si Kelinci membuka kain penutup di keranjang yang dibawanya. Lihat! Ia menunjukkan permen raksasa berbentuk bintang yang terlihat gemerlapan. Ajaib sekali!

Setelah sempat tersenyum lebar, si Kucing Hitam kembali meletakkan cakar di kepalanya.
Aduh!
Kucing, apakah kamu sakit? Si Kelinci keheranan.
Iya dan saaaaangat lapar!

Si Kelinci berkacak pinggang. Memang si Kucing Hitam bandel dan manja luar biasa, pikirnya. Segera ia membuat sup wortel dan puding bintang yang dengan segera dilahap si Kucing Hitam. Ia mendorong si Kucing Hitam ke kasur, membungkusnya seperti mumi, meletakkan kompres di kepala, dan menarik kursi di sebelah tempat tidur. Sekarang waktunya tidur, ucap si Kelinci. Ditepuknya kepala si Kucing Hitam pelan dengan cakarnya, cakar keberuntungan agar si kucing bandel cepat sembuh. Paling tidak itu yang selalu diresepkan oleh ibu si Kelinci.

Keesokan paginya ternyata si Kucing Hitam benar-benar sembuh! Untuk merayakannya, si Kelinci mengadakan perayaan kecil di taman. Sekeranjang penuh makanan lezat menanti. Mereka makan dengan gembira di bawah langit biru.

menyempurnakan luka



"Hadapi dia."
"Oh. Dan hancur lagi kaya waktu itu? Mau lihat aku kaya gitu lagi?"

Jeda panjang. Gw menutup mata. Apa gw masih punya air mata untuk menangisi hal yang sama?

"Tapi sampai kapan kamu mau kaya gini?"
"Aku udah sembuh, kok, akhirnya. Setelah susah payah, akhirnya aku sembuh."
"Sembuh? Kamu belum sembuh. Dan selamanya ga akan pernah sembuh kalau kamu terus kaya gini. Kalau kamu terus lari."

Gw menghela nafas panjang, sekejap perihnya datang lagi.
Ternyata benar sakit gw belum hilang, cuma bersembunyi.

Suatu hari gw pernah ditanya sampai seberapa parah gw pernah patah hati?
Gw jawab: sampai gw ga bisa lagi mengeluarkan suara saat gw teriak dan tenggorokan gw jadi panas sebagai gantinya, sampai gw ga bisa lagi mengeluarkan air mata saat gw nangis karena entah berapa banyak yang udah tertumpah.

Gw ga pernah menyesali 3 tahun lebih yang gw habiskan untuk jadi pendengar cerita patah hatinya, masa-masa di mana dia hilang dan baru muncul karena butuh tong sampah pribadi atau sekedar teman jalan. Gw ga keberatan dengan sakit hati yang terus tumbuh sejalan waktu. Yang gw sesali adalah 2 hari singkat setelahnya yang penuh janji-janji kosong, yang membuat gw berharap kalau ternyata dia sadar bahwa gw ada untuk dia, bahwa ternyata dia sayang sama gw. Dan bahwa setelahnya dia mengatakan semuanya bohong, semuanya bercanda. Bahkan sampai akhir dia ga tahu di bagian mana dia berbuat salah sama gw. Bahkan sampai akhir ga pernah ada cerita. Ga pernah ada 'kita'. Ga pernah ada apa-apa.
 
"Sempurnakan lukamu."
Ini cerita 6 bulan kemudian, setelah pesan singkat kesekian, setelah hari-hari panjang dengan ketakutan.
Gw mengetik sebuah balasan.
"Memang kamu sudah maafin dia beneran?"

"Ga tahu, karena aku bingung. Aku bingung sebenarnya yang selama ini ga bisa kumaafin itu siapa, dia atau diriku sendiri?"

Gw akan berhenti jadi pengecut.
Kali ini gw akan menyempurnakan luka.
Untuk sembuh.

p e r t a m a


maafkan halo-ku yang terjatuh
mungkin ia menanggung terlalu banyak dosa
kata orang 'keberatan nama'

sama seperti sayapku yang patah
dan ekorku yang gagal mengada
 akhirnya aku jadi makhluk fana semata
berakhir dengan mengguncang kata-kata

halo, sahabat!