Selama beberapa hari belakangan otak gw 'penuh' dan gw pengen banget nulis. Judul-judul berkelebatan di kepala gw beserta isinya yang ga jauh dari keluh-kesah dan pikiran negatif. Maklum, minggu yang baru lewat adalah minggu ujian, ditambah lagi baru-baru ini memang banyak pikiran berseliweran di kepala.
Terus, hari ini pas gw ke rumah ibadah, gw baru sadar suatu hal:
Gw sombong. Terlambatkah kalau gw baru sadar sekarang?
Sebelum gw meneruskan, tolong jangan memiliki pikiran bahwa gw menulis ini untuk berkotbah atau mempromosikan agama tertentu. Dan jangan menilai bahwa tiba-tiba gw mendapatkan cahaya surgawi atau apa pun itu. Perenungan hari ini adalah akumulasi perenungan gw kemarin saat membaca buku On Death and Dying oleh Elizabeth Kubbler-Rose, kata-kata Tagore, dan beberapa kejadian di akhir minggu.
Tadi gw tersentak waktu lihat tema kotbah hari ini tentang bersyukur. Satu hal yang gw sadari sekali tentang diri gw adalah kurangnya rasa bersyukur, jadi gw pikir 'wah, pas juga nih'.
Kotbah dimulai dengan cerita Yunus. Nah, kalau dengar nama yang satu itu, di otak gw akan muncul gambaran laki-laki yang dimakan paus gara-gara bandel ga mau pergi ke sebuah kota yang katanya sih penuh dosa.
Kebetulan gw sempet nekat foto interpretasi Dali atas kisah Yunus. Lebih kurang yah beginilah isi otak gw kalau dengar kata Yunus. Ga, isi otak gw ga se-artistik ini, kok. Maksud gw adalah gw selalu terbayang rumusan yang sama: 1 laki-laki dikejar 1 paus super besar, di laut.
Gw ga inget cerita lainnya tentang proses 'ngeyelnya' dia berikut ini: Yunus sampai di suatu daerah mengeluh kepanasan dan bete gara-gara Tuhan masih ngotot meminta dia pergi ke Niniwe. Tuhan kemudian menumbuhkan pohon jarak dalam semalam untuk menaungi dia. Seperti semua manusia, fisik yang adem otomatis membantu hati jadi ga panas, dia pun senang. Kemudian Tuhan mendatangkan hama yang membuat pohon tersebut jatuh plus menghembuskan angin gurun yang panasnya luar biasa. Yunus, seperti yang sudah bisa ditebak, kecewa dan marah. Tuhan bertanya kenapa Yunus mesti marah dan kehilangan sesuatu yang bahkan ada tanpa usahanya? Lalu, kenapa Tuhan ga boleh mengutus dia untuk menyelamatkan orang-orang di Niniwe yang Tuhan ciptakan dan kasihi? Dikatakan Yunus ga mau pergi karena di dalam pikirannya kenapa dia yang selama ini sudah kerja keras menyebarkan 'suara Tuhan' malah disuruh ke kota yang secara iman bobrok dan 'ga tertolong lagi'. Ibaratnya sudah kerja keras, kok, imbalannya malah makin disiksa?
Satu kisah lagi adalah tentang pemilik perkebunan anggur yang mencari pekerja. Dari subuh sang pemilik turun sendiri ke jalan untuk menawarkan pekerjaan. Segera, kloter pertama terkumpul dan mereka setuju dengan upah 1 dinar, mereka pun mulai bekerja. Namun, sang pemilik yang berjiwa sosial ini turun lagi untuk mencari orang-orang yang dapat bekerja di ladangnya, hingga terkumpullah beberapa kloter dan kloter terakhir bekerja 1 jam saja. Sore harinya, sang pemilik meminta anak buahnya untuk membagikan upah mereka, dimulai dari kloter yang terakhir. Mereka mendapatkan 1 dinar. Ketika pembagian upah sampai pada kloter pertama, mereka pun masing-masing mendapatkan 1 dinar sebagai upah bekerja. Lho? Kenapa yang bekerja dari subuh dan yang bekerja hanya 1 jam sama saja upahnya? Mereka memprotes (yang menurut gw wajar). Tapi tunggu dulu...Dari awal kloter pertama sudah setuju dengan upah mereka yang 1 dinar itu. Sang pemilik berkata kenapa mereka harus sewot atas kemurahan hatinya kepada kloter-kloter lainnya. Meminjam bahasa kasarnya: 'lha, ini kan uang gw, suka-suka gw donk mau gw pakai dengan cara apa?' Lagipula, pekerjaan itu diberikan pada mereka oleh sang pemilik. Tanpa pemilik yang turun langsung ke jalan, mereka tidak akan beroleh pekerjaan tersebut.
Pada saat gw dengar 2 cerita itu, gw merefleksi diri gw dan merasa malu. Selama ini gw sudah sangat sombong dan yang seram adalah gw ga sadar kalau gw sudah sangat sombong. Seberapa sering sih gw mengeluh kenapa pencapaian gw tidak sebesar teman-teman gw? Kenapa gw serba separuh-jadi? Kenapa sih gw ga ketemu juga sama jodoh gw padahal orang lain udah berapa kali ganti pasangan? Kenapa sih nilai gw cuma segini? Sering, sering sekali. Dan semuanya memakai embel-embel: padahal kan gw sudah berusaha, padahal kan gw sudah mengorbankan (x, y, z, banyak sekali variasi isiannya), padahal kayanya muka gw walaupun ga cantik tapi mendingan daripada dia. Sambil mengeluh, gw ga lupa untuk meninggikan diri gw.
Di sisi lain, seberapa seringkah gw benar-benar merasa bahwa Tuhan benar-benar membantu gw? Pada saat gw mendapatkan sebuah prestasi, bibir gw bisa aja mengucap 'iya, aduh, ini juga berkat Tuhan' tapi di hati gw ada rasa bangga berlebihan yang menggumam 'usaha gw ga sia-sia kan, sekarang kalian lihat sendiri'. Pada saat gw mau melakukan sesuatu gw mengucap doa wajib 'untuk kemuliaan Tuhan', tapi begitu gw berhasil melewati peristiwa tersebut dengan sukses ceritanya jadi berbeda. Yang gw ceritakan ke orang adalah usaha gw, proses gw bekerja, hal-hal yang menurut gw adalah kelebihan gw yang membawa gw ke titik itu. Bersyukur dalam hati cuma tinggal cerita. Betapa sombongnya gw dan, walaupun pedih gw ucapkan, betapa munafiknya gw.
Pada akhirnya gw sadar bahwa gw masih kekanak-kanakan. Kalau ada berkat, tangan gw langsung menengadah. Begitu ada masalah, gw lari. Kalau ada pencapaian yang gw dapatkan, dengan pongahnya gw maju ke depan buat terima pujian. Begitu gw dihadapkan pada kegagalan, gw langsung buang muka, tutup telinga, pura-pura ga tahu. Bukannya berusaha memahami keadilan dari Tuhan Yang Maha Adil, gw memaksakan keadilan versi gw untuk diaplikasikan di hidup gw. Saat hal itu tidak terjadi, gw marah-marah dan ngambek.
Karena kesombongan gw, gw seringkali menolak melihat masa sekarang, tapi asyik mengingat pencapaian apa yang telah gw dapatkan. Sementara itu, orang lain sibuk merancang dan bekerja keras mewujudkan pencapaian-pencapaian lain. Jadi, begitu gw menengok lagi ke masa sekarang, gw tertinggal dan merasa gagal. Gw akan banyak ngomel dan sedikit bekerja karena gw merasa sudah banyak usaha gw, tapi kok tetap saja gw stuck di titik awal. Lama-lama gw ga bisa lepas dari lingkaran setan yang membuat gw makin lama makin tidak produktif.
Masih berkaitan, tadi adik kelas gw sempat menulis di Twitternya sesuatu yang sederhana, yang kadang terlupa: segala sesuatu berlaku timbal balik, nggak bisa kita meminta terus tanpa pernah memberi. begitupun sebaliknya. Setelah gw ingat-ingat lagi, gw sungguh banyak menuntut. Salah satu sahabat gw sering mengirimkan gw sms untuk sekedar menyapa dan ngobrol karena dia kesepian tinggal di kos, sementara setiap weekend gw akan pulang ke rumah. Entah kenapa, gw malas untuk membalas sms-nya, padahal dia cuma butuh teman dan seharusnya gw bisa ada untuk dia. Padahal gw sering mengeluhkan ga ada teman ngobrol, 'hape sepi', dan lain sebagainya. Halooo, seberapa hebatnyakah gw untuk menuntut orang lain memperhatikan gw sementara untuk seorang sahabat gw enggan mengeluarkan energi mengetik beberapa kata?
Gw harus berubah. Memulai lagi dari awal walaupun sulit karena gw terbiasa berpikir muluk. Dimulai dari hal yang sederhana dulu gw rasa, keluarga dan sahabat-sahabat gw.Lalu, belajar berdoa dan bersyukur lagi. Semoga kepala dan hati gw yang batu ini mau gw ajak bekerjasama. :)
"We read the world wrong and say that it deceives us"
- Tagore
- Tagore
No comments:
Post a Comment