mati ?

Kalau ada yang bisa membuat gw merasakan jatuh cinta dan benci pada saat bersamaan, gw rasa orangnya adalah Jack Kevorkian.

Pagi ini dosen etika gw memutuskan untuk memutarkan sebuah film yang berkaitan tentang etika seputar akhir kehidupan, 'You Don't Know Jack'. Di awal film gw sempat merasa bosan dan bingung, sebagian karena adegan yang melompat dari seorang pasien yang tergeletak dengan alat penyokong kehidupan ke adegan sekumpulan kakek-kakek bermain kartu, sebagian lagi karena teks terjemahan yang serba berantakan.

Hal pertama yang menarik perhatian gw dari film ini adalah musik latarnya yang kebanyakan adalah lagu klasik yang cukup familiar di telinga, terutama Cello Suite No.1-nya Bach (dari antara semua musik klasik, favorit gw adalah Bach). Hal selanjutnya adalah kematian, pernyataan bahwa Bach adalah tuhan bagi Jack Kevorkian, sekilas pernyataannya tentang Nazi, dan lukisan karyanya. Gw ga tahu persisnya mana yang membuat gw merasa terguncang dan merasakan badai di dalam diri gw.

Ada dua hal yang diperjuangkan oleh Kevorkian: donor organ dan kematian atas pemintaan pasien. Namun, ia akhirnya lebih terfokus pada hal terakhir. Kematian, menurut Kevorkian, merupakan pilihan dan hak seseorang. Buatnya, seseorang layak mati dengan bermartabat dan tanpa rasa sakit. Ia memfasilitasi kematian para pasiennya dengan alat ciptaannya sendiri yang dinamai Thanatron ( thanatos = kematian ) dan setelah izinnya dalam mendapatkan potasium klorida dicabut, dengan Mercitron. Alat pertama terdiri dari 3 tabung yang masing-masing berisikan saline (cairan yang menyerupai cairan tubuh manusia), obat tidur, dan potasium klorida ( akan merusak kelistrikan jantung sehingga jantung berhenti berdenyut dalam sekejap). Mercitron memanfaatkan karbon monoksida konsentrasi tinggi yang nantinya membuat sel darah merah berhenti mengikat serta menyuplai tubuh dengan oksigen, tubuh akan lemas dan berakhir dengan kematian yang juga tanpa rasa sakit. Pasien diminta menarik sendiri tuas tertentu untuk memulai proses kematiannya.

Atas praktiknya ini, Kevorkian yang kemudian dijuluki Dr. Death, berkali-kali berurusan dengan polisi dan mengalami penuntutan, bahkan sempat ditahan dan menjalankan aksi mogok makan.  Namun, ia tetap bisa lolos karena sebenarnya yang dilakukannya adalah bunuh diri-berbantuan (assisted suicide): ia tidak menyarankan serta membunuh pasien, namun memfasilitasi permintaan pasien. Bertahun-tahun lembaga hukum setempat berusaha membatasi usahanya hingga akhirnya mereka mengadakan perundangan yang isinya dengan tegas melarang euthanasia. Gw ga berkesempatan nonton filmnya hingga selesai, jadi gw menelusuri internet dan menemukan bahwa akhirnya ia dipenjarakan sejak tahun 1999 hingga tahun 2007 atas tuduhan pembunuhan tingkat kedua dan pengedaran substansi di bawah kontrol. Hal ini karena, berbeda dengan pasiennya yang lain, ia akhirnya melakukan euthanasia pada Thomas Youk (Kevorkian sendirilah yang menyuntikkan substansi yang menyebabkan kematian), ia pun terganjal perundangan yang berlaku.

Seperti yang gw bilang sebelumnya, gw punya ketertarikan khusus dengan kematian. Menurut gw kematian itu identik dengan kepastian dan kepastian adalah hal yang memberikan perasaaan nyaman buat gw. Terus terang, gw ga ngerti dengan pemikiran Chairil Anwar yang 'ingin hidup seribu tahun lagi'. Setiap hari di hidup kita, kita terombang-ambing dalam ketidakpastian masa depan, kita dituntut untuk berjuang dan bertanggung jawab, mulai dari diri kita sendiri hingga ke banyak hal. Singkatnya, hidup itu susah: 'kalau loe ga sakit, loe ga hidup'. Itu pendapat gw yang sehat mental dan fisik, jadi gw bisa mengerti betapa menderitanya orang-orang dengan penyakit terminal atau sangat berat yang akhirnya mencari pertolongan dokter untuk melancarkan kematian mereka.

Pasien pertama Kevorkian, Janet Adkins, seorang istri dan ibu yang divonis menderita Alzheimer, penyakit yang mengikis ingatan seseorang perlahan-lahan. Obatnya? Belum ada. Janet mengaku ga tahan, dia merasa makin lama makin 'tersesat' dan dia tahu suatu saat dia akan terbangun ga mengenali keluarganya, dia akan selalu sendirian. Pasien lainnya merupakan penderita Lou-Gehrig syndrome, penyakit yang perlahan-lahan melumpuhkan kemampuan otot tubuh dimulai dari bagian terbawah. Pasien dengan penyakit ini akan mati karena sesak nafas akibat tidak berfungsinya otot pernafasan. Obatnya? Juga belum ada. Apa makna hidup kalau cuma bernafas dan sehat fisik? Apa artinya hidup kalau terkekang penyakit yang sudah pasti akan menyiksa kita sampai mati? Jeritan minta tolong inilah yang direspon Kevorkian sebagai dokter. Dalam pandangannya, lebih manusiawi memfasilitasi sebuah kematian ketimbang membiarkan pasien dengan mati serebral (hanya batang otak yang berfungsi) mati kehabisan nutrisi setelah alat penunjang kehidupannya dicabut.

Selalu ada perdebatan tentang keputusan yang harus dilakukan dokter, karena dokterlah yang menggenggam kendali untuk tidak melakukan atau melakukan suatu tindakan terhadap pasiennya. Selalu ada dilema antara menjalankan otonomi pasien atau tetap menjalankan apa yang baik secara medis. Banyak pihak mengecam tindakan euthanasia dan bunuh diri-berbantuan karena menilai bahwa cara-cara tersebut tidak tepat dikatakan sebagai 'kematian yang bermartabat', bahwa kebanyakan pasien dengan penyakit berat tidak berkemampuan memutuskan sesuatu secara bijaksana. Di sisi lain, kita juga harus memikirkan derita pasien dan hak pasien yang, sebagai manusia, memiliki pemikiran dan hak-hak atas dirinya sendiri. Lagi, tidak ada yang bisa memastikan apakah benar pasien dengan penyakit berat yang menginginkan kematian sesungguhnya hanya membutuhkan perhatian. 

Pada suatu kesempatan Kevorkian mendapat pertanyaan: "You are saying doctors play God all the time?" , yang kemudian dijawab, "Of course. Anytime you interfere with a natural process, you are playing God." Kevorkian berkeyakinan apa yang dilakukannya adalah yang terbaik buat pasiennya. Bahwa kemudian ia dinilai playing God, ia merasa bahwa semua dokter sesungguhnya melakukan hal yang sama.

Gw mengagumi jatuh cinta sekaligus benci Kevorkian yang dengan arogan menantang orang-orang yang memandangnya sebelah mata. Gw jatuh cinta karena sikapnya yang sampai akhir memegang prinsip membantu pasien sepenuh hati dan sikapnya yang pantang menyerah, semua yang dilakukannya bukan semata karena ia mengharapkan uang, tapi karena niatnya dalam melayani pasien, niatnya untuk tetap memperlakukan seseorang sebagai manusia hingga akhir hidup orang tersebut. Kevorkian adalah seorang yang bisa dikatakan jenius, namun ia memilih untuk mendedikasikan tahun-tahun kehidupannya demi mengikuti hati nuraninya, bersusah payah berurusan dengan hukum, bahkan sampai dipenjara sementara dokter lain mungkin bisa merintis karir yang sukses dengan kemampuan dan waktu yang sama.

Satu adegan yang tidak terlupakan dari film 'You Don't Know Jack' adalah saat Kevorkian, masih terpukul oleh kematian kakak perempuan yang selalu setia mendampinginya (ia tidak pernah menikah), lagi-lagi ditahan oleh polisi dan memutuskan untuk mogok makan. Di dalam penjara, ia membuat sketsa dan rancangan klinik bantuan kematian walaupun semakin hari daya pikirnya semakin menurun karena tidak adanya asupan nutrisi, walaupun ia masih merasa hancur dan sedih. Jack Kevorkian, yang di filmnya diperankan oleh Al Pacino, kelihatan sekali sudah nyaris mencapai limitnya, tapi ia tetap bertahan pada prinsip dan aksinya.

Kevorkian tetap manusia, ia juga melakukan kesalahan. Penyelidikan mengatakan beberapa pasien Kevorkian sesungguhnya tidak bisa dikatakan sebagai pasien terminal maupun berpenyakit berat, walaupun Kevorkian sudah berhati-hati dan menolak pasien yang depresi dan dianggap tidak kompeten dalam membuat keputusan sendiri. Ia hanyalah manusia yang menolak adanya Tuhan, berpendapat tuhannya adalah Bach , karena masa kecilnya yang pahit. Kalau ada yang membuat gw merasa benci adalah pernyataannya bahwa manusia datang dari ketiadaan, sehingga kembali ke ketiadaan seharusnya tidak menjadi perkara besar.
Beberapa orang mencela Kevorkian karena ia sendiri memilih tidak menjalani euthanasia ataupun bunuh diri-berbantuan saat ia tergerus oleh kanker hati di akhir hidupnya. Gw menilai ini sebagai komentar yang picik. Kita tidak harus melakukan sesuatu yang tidak kita butuhkan hanya karena kita menolong orang lain mendapatkannya, saat mereka benar membutuhkannya. Setiap orang memiliki kebutuhan dan limit yang berbeda-beda.

"Seandainya yang terbaring dengan alat bantu hidup adalah saya, apakah kamu akan meminta dokter mencabutnya?" merupakan pertanyaan Margo, kakak Jack Kevorkian saat ia baru akan memulai karirnya sebagai Dr. Death dengan Thanatron. 
"Ya," jawab Kevorkian dengan mantap.

Ada banyak sisi yang membuat gw ga bisa memutuskan apakah gw mendukung atau menolak tindakan euthanasia dan bunuh diri berbantuan. Sisi manusiawi gw mengatakan gw menyetujui tindakan tersebut. Buat apa menunda sesuatu yang sudah mendekat dan memilih memperpanjang penderitaan.  Di sisi lain, walaupun gw pendosa, gw percaya Tuhan, jadi gw mengandaikan pasien tersebut adalah gw. Apakah gw ga melakukan dosa dengan niat mati gw? Euthanasia dan bunuh-diri berbantuan memiliki prinsip 'atas kemauan pasien', dengan kata lain apapun namanya, hal tersebut merupakan tindak bunuh diri. Sebagai manusia, punya hak apa gw menentukan bahwa gw sudah harus mati? Bahwa gw sudah mencapai limit gw? Apa itu bukan melecehkan Tuhan namanya?

Kemudian gw teringat permintaan Ibu gw, kalau sampai terjadi mati serebral, ia memilih ga dipasangi alat penunjang kehidupan (juga, kalau sampai ia terkena kanker stadium lanjut, ia memilih menjalani sisa hari dengan tenang tanpa kemoterapi). Apakah gw akan dengan rela meluluskan permintaannya bila hal itu benar-benar terjadi? Jelas gw ga akan semudah itu mengatakan ya, seperti yang dikatakan Kevorkian. Nah, jika gw bertindak sebagai dokter, jelas jadi susah mengamini keinginan mati karena sebenarnya terbukti gw berpikir 'masih ada yang bisa diusahakan'. Sebaliknya, gw juga ga bisa mengatakan dokter yang berlaku seperti Jack Kevorkian yang 'membunuh' atau dokter yang mencabut alat bantu hidup (sering dikatakan tindakan 'letting die') sebagai orang yang tidak berhati nurani ataupun salah.

Jack Kevorkian seringkali dituding berlaku bak Nazi oleh pihak kontra karena ia dinilai bertindak dengan alasan 'untuk  masa depan yang lebih baik' dengan melakukan tindakan 'membunuh'. Ia memang berpotensi menjadi Nazi dan melakukan tindakan yang sering disebut 'euthanasia liar'  (Etika Biomedis, K.Bertens), hal yang membuat Nazi dikutuk dan dikecam keberadaannya. Tapi, jangan lupa, tanpa Nazi kita tidak akan menikmati kemajuan ilmu pengetahuan kedokteran semaju saat ini. Nazi melakukan banyak percobaan ekstrem terhadap manusia yang, walaupun dalam prosesnya mengabaikan kemanusiaan, sangat bermanfaat bagi masyarakat. Gw ga menjustifikasi prosesnya yang salah, gw cuma mau menunjuk bahwa kita ga bisa memandang segala sesuatunya secara sempit, terburu-buru berkesimpulan, dan bertindak gegabah karena kadang batas antara sesuatu yang baik dan buruk bisa sangat tipis.

Apapun, Jack Kevorkian berhasil mengacaukan otak dan hati gw selama 3 jam penuh. Dan gw ga mengatakan itu hal yang buruk. ;)

Buat yang mau baca tentang Jack Kevorkian lebih lanjut bisa di sini: Jack Kevorkian Biography.

No comments:

Post a Comment