seorang gadis berjalan di tepian malam

1
betapa mengerikan ketika luka menjadi bunga
kemudian kata menjadi duka

2
di hulu waktu aku mencari rindu
ah, mengapakah ia tinggal padahal sempat ia kuhanyutkan
mungkin sungai ini telah memutar
ataukah laut kini terlantar semenjak
ia tak sudi menerima luapanmu?
atau mungkin sudah terlalu banyak rindu
dilarung oleh banyak hati yang membeku

3
sejenak aku mencarimu dalam tirai malamku
tak kuingat kini kau telah menjadi bunga
aku hanya butuh meluka untuk membuatmu ada

tentang sebuah kicauan

Ini adalah, seperti malam-malam yang pernah ada, malam insomnia. Sebenarnya, sih, tidak tepat dikatakan insomnia karena gw bisa tidur seandainya gw mau, tapi gw terlalu gelisah dan ga punya keinginan tidur. Jadi, sebagai gantinya gw rasa gw harus menulis. Lagi.

Gw ga berhak, sih, untuk menilai orang lain, karena 'gw sendiri ga kebagusan', tapi baru-baru ini ada sebuah hal yang membuat gw gatal buat berkomentar. Dan gw harus menahan diri untuk ga melakukan itu. Salah seorang teman gw membuat kicauan di Twitter tentang keluarganya yang bermasalah, dia juga mengatakan bahwa kita ga akan mengerti masalah dia dan adalah hak dia untuk mengeluarkan uneg-unegnya di media sosial itu, dan lain sebagainya. Pada saat gw membaca beberapa kicauannya itu, secara spontan terbentuk komentar-komentar nyinyir di kepala gw yang meronta minta dikeluarkan. Seandainya saat itu gw dalam versi tanpa filter, gw ga tahu apa yang sudah terjadi sekarang. Mungkin gw dan dia sudah adu mulut.

Ini adalah pikiran gw: gw setuju dengan omongannya bahwa itu adalah masalah dia (juga bahwa kita memang ga akan ngerti secara menyeluruh masalah orang lain) dan dia punya hak untuk mengekspresikan kekesalannya. Gw setuju bahwa seringkali orang menilai tanpa mau memahami dan bahwa setiap orang memiliki cara untuk menyalurkan perasaan, tapi buat gw caranya terasa salah. Pada salah satu kicauannya dia bilang dia sangat sayang ibunya dan bahwa ibunya adalah 'korban,' terus kenapa dia lanjut mempermalukan ibunya dan keluarganya dengan membeberkan sekilas info yang termasuk hal pribadi itu di media sosial? Gw mungkin salah, tapi dalam pandangan gw sungguh ini hal yang tidak pantas. Dengan menuliskan hal tersebut apakah kemudian ada jalan keluar yang timbul? Ga. Orang juga enggan berkomentar masalah sensitif semacam itu. Di sisi lain, orang yang sudah menjalani hal dirasa lebih berat pasti mencibir juga. Sisanya hanyalah balasan yang isinya 'turut prihatin'. Apa enaknya dikasihani? Jadi buat apa melakukan hal yang sia-sia? Sekedar uneg-uneg kalau cuma berhenti jadi uneg-uneg dan ga bisa diselesaikan dengan jalan dicurahkan ke publik, ya lakukanlah di buku harian yang tertutup.

Ini adalah kejujuran gw: gw ga tahu kenapa gw menuliskan ini, mungkin karena sebagian dari diri gw iri dengan caranya melepaskan keluh-kesah (yang gw rasa tidak sesuai nilai yang gw pegang) sementara sebagian diri gw yang lain mencemooh hal tersebut. Yang mana? Gw masih belum bisa memutuskan. Gw terlalu lama 'menjadi anak baik-baik', kadang gw lupa sejauh mana gw layak berkomentar dan menempatkan diri.

terus melangkah

Fenomena kilas balik atau flashback adalah sebuah fenomena yang kadang dialami pecandu yang berusaha menghentikan kecanduannya. Suatu saat, ketika ia merasa telah sukses berhenti, ia seperti ditarik mundur dan mengingat kenikmatan dalam pemenuhan kebutuhan tidak sehatnya.

Gw rasa itu yang gw alami malam ini.
Hanya karena dua buah tangan dan sebuah wajah.
Dan beberapa gelang karet.

Gw menjadi kangen untuk merasakan rindu.
Untuk merasakan pedihnya rasa kehilangan.
Untuk merasakan sesaknya mengingat.

Segaris tipis batas dan gw akan terjatuh lagi, tapi bukan malam ini.
Dan semoga tidak akan lagi.
Gw mencukupkan diri dan menarik garis. Di titik ini gw berdiri dan gw tidak akan kembali.

Kata orang saat nyaris mencapai tujuan, tetiba tantangan terasa lebih berat dan tak tertahankan.
Bukan langkah cepat yang dibutuhkan kemudian, tapi tekad dan ketekunan. Itulah yang akan gw lakukan. Terus melangkah walau terkadang ingin berlari kembali.

Terus, terus, terus melangkah.


Kamu candu, bahkan ketika wujudmu adalah rindu.
Bahkan ketika aku mencoba membencimu.

"memento mori"

mengapa masih kau tanya juga saat ia datang?

di sebuah pernikahan

Sekelopak mawar jatuh di sudut sepatu. Bukan, bukan sepatu berhak tinggi yang digilai wanita masa kini, hanya sepatu datar warna putih yang bersulam sederhana. Tapi mungkin kau takkan melihatnya karena mereka bersembunyi di balik sebuah gaun putih yang tidaklah megah. Mungkin yang kau perhatikan hanyalah wajah si wanita yang sumringah atau tangannya yang menyentuh lengan si pria lembut. Atau mungkin kau sedang sibuk memperhatikan wajah si pria yang tampak bangga dan sekilas geraknya membisikkan kata-kata ke telinga si wanita, yang takkan pernah kau tahu apa?

Andai adalah kata yang berbahaya, sayang, jadi jangan kau ucap.
Penyesalanmu terlambat.

tersesat

lamalama pulang menjadi kata asing
yang hanya bisa lamatlamat kuucapkan

dan kangen yang mengerat kemudian mencipta sekuncup
yang mekar menjadi benci yang berduri.

lagilagi sepi,
aku masih tak tahu cara untuk kembali.

rumah

suatu hari nanti saat kita tak lagi bertiga
tempat ini takkan pernah sama
tak peduli bagaimana kita mencoba

lalu akan terus kucari gelak tawamu yang takkan pernah kembali
dan getar suara dvd-nya di malam hari
atau momen di sebuah senja saat kita bertukar canda

namun kita sama-sama tahu
saat itu semua telah berlalu
yang tinggal hanya aku dan sebuah rasa bernama rindu.

ayah

Dalam ruangan itu aku terduduk, mendengarkan denyut statis dari alat yang tersambung ke tubuh ayahku. Ah, dia masih hidup, namun entah untuk berapa lama lagi.

"Kamu harus ingat, untuk selamanya dialah ayahmu. Sebab tak pernah ada yang namanya mantan ayah, sama halnya seperti mantan ibu atau mantan anak. Kalian selamanya akan menjadi ayah dan anak. Kamu harus ingat itu, ya? Kamu tidak boleh membenci ayahmu."

Terngiang ucapan ibuku di sebuah senja setelah kukatakan ingin kubunuh saja ayahku. Saat itu ibu memegang lembut kedua pipiku, memaksaku menatap wajahnya yang penuh air mata. Saat itu sungguh ingin aku bertanya bagaimana caranya ia bisa bertahan setelah semua yang ayah lakukan pada kami, padanya. Bagaimana ia bisa melarangku membenci ayah setelah ayah menginjak-injak hatinya, memilih berkelana dengan wanita yang lain dan menelantarkan anak istrinya? Tapi kata-kata itu urung kuucap. Sebagai gantinya aku mengangguk pelan, kemudian ibu dan aku larut dalam sebuah peluk erat, berusaha menepis kepedihan dalam hati.

Aku menatap sosok ayahku yang terbaring di kasur nyaman rumah sakit, hari ini genap seminggu ia tak sadarkan diri sejak jatuh di kamar mandi tepat di 5 tahun berpulangnya ibu. Kenapa aku ada di sini? Aku bertanya pada diriku. Kini setelah ibu pergi, bisa saja kutinggalkan ia sendiri. Sejenak kupandang wajah ayah yang telah mengeriput renta. Ia tampak tak berdaya, kalah oleh waktu dan usia. Kemudian entah darimana aku mendapatkan jawab atas tanyaku:

Inilah cinta. Inilah cinta yang memungkinkan ibu bertahan mendampingi ayah tanpa peduli deritanya, mengorbankan diri agar aku tak menahan malu dan pilu bila ketika itu mereka berpisah. Inilah cinta yang terikat oleh darah. Inilah cinta yang sampai akhir terus memberi. Aku, seperti ibuku, tak bisa lari: kami dilahirkan begini, untuk mencintai.

hujan setahun yang lalu

Aku memandang gerimis yang mulai turun, menetak-netak kaca mobilnya dengan manja. Sejenak pikiranku teralih. Untunglah ini sudah depan rumahku, pikirku sambil sekilas memandang pintu dari jendela tempat dudukku. Tapi aku tak juga beranjak turun. Kulihat dia menatap lurus ke depan, berusaha menghindari tatapanku yang menunggu.

"Kenapa susah sekali kau ucapkan?" ujarku, kemudian kubiarkan rintik hujan mengisi kesunyian. Dia mendesah, aku meliriknya sedang menggaruk kepala dengan tak sabar.
"Haruskah kuucapkan? Buat apa?"
Akhirnya dia angkat bicara juga.
"Supaya aku bisa berhenti mencintai. Paling tidak tolong bantulah aku sebagai seorang teman."
Dia bergerak gelisah, kulihat dia sedang menimbang-nimbang permintaanku.

Kumohon, bisikku dalam hati, katakanlah agar aku bisa beranjak pergi. Bukan hanya dari mobil ini, tapi dari perasaanku sendiri. Karena buatku cuma ada dua pilihan, biarkan aku tinggal atau berlalu. Pilihan yang egois, tapi jujur aku tak mampu lagi menjalani permainan ini.

"Aku benci sama kamu. Ah, tapi aku sebenarnya tidak mau ucapkan ini!"
Aku tersenyum simpul.
"Terima kasih," ucapku lirih.

Kubuka pintu mobil dan secepatnya bergerak menuju rumahku. Bukan gerimis yang kuhindari, gerimis tak bisa menyakitiku, aku tahu itu. Yang membuatku takut adalah mendung yang menyesakkan hati dan airmata yang tak tertahankan lagi. Ah, hujan, turunlah lebih deras dan temaniku berlari! Hari ini saja sembunyikan airmataku. Besok, aku janji aku akan tersenyum lagi karena semua akan berlalu. Ya, semua akan berlalu, seperti air mataku di dalammu.

di sebuah ranjang

Tuhan, kulihat semburat pilu
bercampur bayang-bayang hidupku
terus, terus membanjiri hatiku
sudah tibakah waktuku?

maka dengarkanlah doaku, Tuhan
bukan hidup yang kuminta
cuma sejumput nafas
dan akan kurelakan segala

sebab masih ada hadiah yang kutunda
dan tak mampu kuberi pada buah hati
demi gengsi, kataku, namun kini kusesali

"Bapak sayang padamu, Nak, selalu"
satu kalimat itu yang berkali-kali buat lidahku kelu dan urungkan niatku

Tuhan, kabulkanlah doaku.


******

"Halo, halo? Bapak sudah ga ada, Nak.
Sudah pergi."


******

sebuah airmata menetes di kejauhan
"Mengapa tak kau tunggu aku, Pak? Tak sayangkah kau padaku?"

di tepi jendela

untuk tujuh

di tepi jendela
selalu kita berdua
dulu

hari ini pun masih
entah sampai kapan

sebagai ganti esok yang tak dapat kulihat
bolehkah janjimu selalu ada terus kudekap?

pesan yang menampar

Hari ini gw mendapat kesempatan berkunjung ke RSKO (buat yang belum tahu, RSKO itu adalah Rumah Sakit Ketergantungan Obat) berkaitan dengan program studi yang sedang gw ambil sekarang, yaitu modul Adiksi. Gw dan teman-teman gw sudah menjalani modul ini sekitar 2 minggu dan secara umum kami sudah mulai mengerti mengenai ketergantungan obat mulai dari sejarah, mekanisme kerja obat hingga menimbulkan ketergantungan, kaitan ketergantungan sebagai penyakit otak, prinsip terapi dan rehabilitasi, sampai ke undang-undang yang mengaturnya. Jadi bisa dibilang hari ini adalah waktunya studi lapangan untuk membandingkan antara teori dan eksekusi program rehabilitasi di kehidupan nyata.

Tidak mudah buat gw belajar melepaskan stigma bahwa para pecandu bukanlah kriminal, mereka adalah korban. Korban dari masalah mereka sebelum hingga memakai zat terlarang sampai akhirnya zat-zat tersebut mengubah kerja otak mereka, membelenggu mereka hingga bahkan untuk mengendalikan diri pun mereka membutuhkan bantuan orang lain. Tidak mudah buat gw untuk tidak berprasangka dalam hati, bahkan setelah gw tahu mereka akan ada di sana untuk menjalani rehabilitasi demi menjadi diri sendiri lagi. Jujur, gw was-was.

Lukisan di tembok lapangan yang sering mereka pakai bertanding futsal  lawan warga sekitar. :)

Namun, ternyata kekhawatiran gw ga terbukti. Di sana kami dibawa berkeliling hingga ke 'primary home', rumah sementara para pecandu di sana. Salah besar kalau dikira sarana rehabilitasi adalah tempat bak rumah sakit serba putih yang kaku, sebaliknya, tempat itu dibuat senyaman mungkin dan para petugas medis tidak berseragam. Mereka menempatkan diri sebagai 'teman'. Salah besar kalau dalam bayangan kalian (seperti bayangan gw sebelumnya) kebanyakan pecandu akan tampak kesakitan, berantakan, kurus, dan mengerikan. Tadi gw berkunjung ke rumah mereka itu bertepatan dengan jam mereka selesai beribadah, mereka tampak rapi seusai menjalankan salat Jumat. Seandainya gw ga diberitahu, gw ga akan tahu kalau mereka pecandu. Dan salah besar juga kalau dikira rehabilitasi adalah upaya terapi secara fisik semata. Mereka di sana, seperti kata salah satu pecandu, belajar lagi bertanggungjawab dari hal-hal kecil, belajar membentuk ulang diri mereka sebagai pribadi yang positif dan mampu mengatasi kendala sehari-hari.

Kertas-kertas bertulisan kata-kata yang memotivasi mereka di dalam 'rumah' ( bukan, itu bukan foto wajah salah satu pecandu, itu adalah teman gw yang lagi sibuk mendengarkan keterangan perawat yang membawa kami berkeliling).

Kunjungan kami ditutup dengan sesi ngobrol dengan para pecandu. Teman gw mengutarakan pertanyaan, kira-kira bagaimana sih mereka sampai bisa mencapai sebuh titik balik hingga bisa memotivasi diri lagi untuk menjalani rehabilitasi dengan kemauan yang benar-benar dari diri sendiri. Jawaban mereka, senada, adalah pesan yang menampar buat gw:

"Titik balik gw adalah pada saat gw mau melihat kenyataan, pada saat gw berhenti lari dari kenyataan dan menghadapi masalah gw. Maksud gw, mau sampai kapan gitu lari, lari, lari terus? Ya, kan? Kita manusia hidup pasti punya masalah, kita harus sadar bahwa ga semua yang kita mau bisa kita dapetin. Jadi, ya, hadapin aja. Pada saat gw bisa menerima bahwa diri gw punya masalah, nah gw rasa itulah titik balik gw."

Gw menunduk malu saat itu, merasa diperingati, akhirnya gw berusaha berkaca lagi ke dalam diri. Siapalah gw ini berprasangka dan menghakimi mereka dalam hati, siapalah gw ini berusaha menjalani pendidikan untuk menolong mereka, tapi ternyata malah gw yang mendapatkan pesan inspiratif dari mereka tanpa mereka sadari? Gw ini jago berlari, berkali-kali gw menghindar dari masalah-masalah gw. Sementara mereka, memaksa diri bertahan di situ dan menghadapi masalah mereka yang berkali-kali lipat mengerikannya dari masalah gw karena mereka tahu percuma berlari. Karena mereka dengan berani berusaha berkenalan  dan menerima lagi diri mereka sendiri demi bangkit kembali. Karena mereka tahu betapa mahalnya sebuah kebebasan.


Gw menghela nafas panjang, lalu meringis kecil mengingat perjalanan hari ini. Ah, pesan, tamparanmu perih hingga ke nurani!

telur mata sapi

andai kita telur dadar pasti tak begini ceritanya
kita: telur mata sapi

kau kuning mencerahkan
kaulah pusat perhatian
buatku kau adalah mentari
senyummu mampu cerahkan hati

aku, putih telur yang berotasi
hanya mampu mengagumi
tak pernah sampai, hanya menyusuri

andai kita telur dadar pasti tak begini ceritanya
kita akan saling memeluk dan menggenggam,
kemudian akan kubisikkan sebuah janji: kau takkan kulepas lagi.

pada suatu hari...

Seperti biasa, hari ini pun taman kanak-kanakku penuh. Riuh, tapi jenis riuh yang selalu membuatku rindu untuk kembali lagi dan lagi ke sini. Perlahan kubuka pintu kelas yang catnya kian luntur, aku menarik nafas dalam. Aroma kayu tua, buku-buku usang, dan selapis tipis debu segera menghambur memasuki paru-paruku. Tersenyum lega, merasa pulang, aku memantapkan langkah memasuki ruangan. Mataku bergerak lincah menyusuri lukisan jari yang kami buat kemarin. Punyaku ikan, warnanya oranye pucat. Warna pasta yang kami gunakan. Padahal aku lebih suka kalau warnanya biru, mana tahu nanti saat besar dia jadi paus dan aku bisa menaikinya melintasi rawa di belakang taman kanak-kanakku.

Meneruskan ritualku setiap kembali ke sini, aku membuka pintu geser di sebelah sebuah panci besar. Aku mengintip ke dalam ruang bermain. Di sebelah kiri berdiri lemari masak-masakan, meja kecil, bangku mungil, dan peralatan masak-masakan yang duduk cantik di sebuah rak. Di sebelah kanan, di bawah tangga, balok-balok berdiam dalam kotak, siap dimainkan. Aku menghela nafas lega. Nah, sekarang waktunya melihat siapa yang sudah datang. Kuperhatikan ruangan, banyak yang asyik mengobrol, selalu banyak cerita dibagikan di tempat ini. Gemanya berpendar hangat melingkupi ruangan. Suara, cahaya, mereka satu.
 
Aku mulai penasaran, hari ini siapa yang akan menemaniku bermain? Sebulan lalu aku bagai kembar dempet dengan Alice, dia menceritakan perjalanannya yang luar biasa. Lain kali pasti kucari si Kelinci Putih, tekadku! Kemudian ada Peter yang menyenangkan, dia selalu jadi pahlawan kami semua, apalagi dia mau mengajari kami terbang. Asal jahilnya tidak kumat saja dan dia mulai bermain-main dengan bayangannya. Beberapa kali aku main masak-masakan bersama si Keong Mas atau berlomba lari dengan Timun Mas. Tapi aku tidak mau lomba lari dengan Dorothy, dia suka curang, sekali ketuk sepatu maka sampailah dia di ujung. Oh, dan aku suka sekali bermain ayunan dengan Frizz. Sekali tiup, angin berhembus membawaku ayunanku ke puncak. Kalau sudah lelah, aku akan mencari tempat nyaman dan terbangun dengan Rose, si Putri Tidur di sebelah.

Kadang aku menjenguk kolam di sebelah ruangan dan hampir pasti kudapati perdebatan kecil antara Toba dan Bawang Putih. Habis, ibu mereka sama-sama ikan. Setelah meributkan siapa yang mana, pasti mereka membandingkan lebih cantik siapa. Kalau sudah begitu Putri Salju akan datang dan melerai, kemudian menangis bilang dialah yang termalang, tidak punya ibu. Yang tidak kalah seru adalah ribut-ribut Hansel dan Gretel lawan Ciung Wanara. Hansel dan Gretel yang tidak mau tersasar lagi saat pulang selalu meninggalkan remah roti di sepanjang jalan, tapi ayam si Ciung pasti membandel, sengaja dipatuknya roti manis yang sudah ditebar hingga hilanglah segala jejak.

Ah, tapi belajar di kelas juga tak kalah menyenangkan. Menebak-nebak yang akan mengajar selalu bikin penasaran. Guruku pandai-pandai, lho. Chang Er mengajari kami mencocok bulan dengan pola kelinci, beliau memang sangat berbakat. Kalau beruntung kami bahkan bisa dikenalkan dengan tetangganya di sana, Putri Kaguya. Rumpelstiltskin mengajari kami memintal. Tiga serangkai Urdur, Verdandi, dan Skuld yang selalu mengajar di bawah naungan teduh Ygdrassill, membicarakan masa-masa dan kisah-kisahnya. Medusa yang pemalu sekaligus galak siap membantu untuk mengukir lempung dan memanggangnya jadi batu. Aduh, siapa lagi, ya...Ternyata nama guru selalu lebih susah diingat.

Lalu tiba waktu istirahat yang juga menyenangkan, kami akan makan bersama-sama di meja panjang dengan masakan sederhana nenek si Kerudung Merah setiap satu hari dalam seminggu. Keramaian bertambah karena banyak yang diundang: Kappa, keluarga Beruang, 7 kurcaci, para peri, dan tak lupa tengu serta para naga...

"Nak, hei, Nak.."
"Hah! Iya.."
"Bengong aja kamu, mikirin apa?"
Aku tersenyum simpul.
"Bukan apa-apa, kok, Yah."

Taman kanak-kanakku, tempat spesial di hatiku. Buka 24 jam dan bisa didatangi sewaktu-waktu.
Tapi, maaf, tidak boleh ada tamu dari dunia nyataku. :)


“Of course it is happening inside your head, Harry, but why on earth should that mean that it is not real?”
- Albus Dumbledore (Harry Potter and The Deathly Hallows)
*
"In every real man a child is hidden that wants to play"
  -Friedrich Nietzsche

sebuah pesan

"Bila aku menghilang, tolong cari aku"
adalah kata-kataku yang menguap karena gagal kuucap.

Selalu.

Kemudian yang kudengar
adalah gema langkah-langkah yang pergi menjauh.

(melanjutkan) gambar malam

Di posting sebelumnya, gambar malam, gw cuma menempelkan foto-foto dan kata-kata singkat karena gw buru-buru mau tidur tapi sedang dalam keadaan euforia. Saat itu gw ga mau kehilangan kesempatan untuk membuat postingan baru. Nah, di sini gw mau menjelaskan ada apa gerangan dengan gambar-gambar itu dan gambar-gambar di posting sekarang yang diambil hari Jumat lalu.

Sekitar 2 minggu lalu gw mendapatkan pesan dari salah satu seksi Dana Buku Angkatan/ Jalan-jalan Angkatan (iya, angkatan gw adalah angkatan tertua di kampus), isinya minta tolong dibuatkan desain kaos angkatan, ternyata mereka ada rencana mencari dana dengan menjual kaos angkatan versi II. Gw tanya lebih jauh, mau tema apa dan kapan deadline-nya? Bebas dan dikumpul dalam 2 minggu. Tapi...total 3 desain. Gw hobi gambar, tapi gw biasanya membuat gambar cuma untuk dinikamati diri gw sendiri atau orang-orang dekat gw. Terakhir kali berurusan dengan desain-mendesain di zaman SMA ( lebih dari 3,5 tahun lalu) dan itu pun desain sepele. Gw udah pengen bilang ga bisa aja, tapi dasar memang gw orangnya sakit kalau ga ambil tugas yang aneh-aneh, akhirnya gw mengiyakan. 

Gambar pertama aja udah sukses buat gw pusing. Gw pengen gambar logo Aesculapius, tapi gw baru inget kalau gw lemah dalam hal menggambar hewan (dan ular itu...susah digambar, apalagi mukanya). Hal lain yang membuat gw mabok adalah drawing pen. Dari dulu gw dan pen-berujung-jarum ga pernah jodoh, deh. Kebiasaan gw yang menulis atau menggambar dengan menekan pasti merusak pen semacam itu padahal gw butuh supaya, dengan ilmu Photoshop gw yang amat payah, lebih gampang membersihkannya saat diproses. Ga heran, donk, girangnya bukan main, bahkan waktu baru gambar pertama yang selesai.

Masalah lain ada pada mood gw yang labil. Menyalin dan merapikan ulang gambar pertama dan kedua (pita) membuat gw nyaris ga tidur semalaman gara-gara gw baru niat membuat jam 11 malam. Dan sekalinya gw kerja gw bisa lupa ngapa-ngapain. =__=

Gw lanjut menyelesaikan gambar ketiga ini di hari Kamis minggu lalu. Ini adalah tipe gambar yang sering gw buat waktu gw stress atau bosan. Tulisan besarnya 2008, angkatan gw, isinya adalah modul-modul dan beberapa tulisan yang terkait dengan masa-masa 3,5 tahun bersama. 
Karena gw paling jago meribetkan diri sendiri, gw jadi membuat 1 gambar lagi untuk melengkapi tulisan 2008 itu, gara-garanya gw tertarik melihat gambar-gambar 'unyu' di kaos salah seorang teman gw. Aduh! Sambil menunggu sahabat gw nyalon, gw duduk manis dan menggambar di salah satu resto sushi seberang kampus.



Waktu pun bergulir ke Jumat pagi (gw berhibernasi dari Kamis sore), hari gw memasang deadline pribadi untuk menyelesaikan gambar-gambar ini. Gw sudah bertekad semua harus selesai dan rapi sebelum masuk kuliah pukul 11 pagi.

 
Numpang lewat...di tengah kehebohan memburu-buru diri sendiri, gw masih sempat melakukan hal random, seperti membuat gambar ini!


Dan melanjutkan hal yang paling gw benci, menyalin ulang dan menimpanya dengan drawing pen.

Jam menunjukkan pukul 11 tepat waktu gw selesai merapikan gambar terakhir, pohon,  di Photoshop. Gw baru berangkat ke kampus pukul 11.20 dengan lari-lari (pas sampai, gw habis nafas dan lutut gw gemetaran) hanya untuk kuliah yang berlangsung sampai pukul 11.45.Benar-benar ga terlupakan! Hahaha..

Gw menikmati sekali kerjaan semacam ini. Lepas dari bagaimana nasib gambar-gambar ini nantinya, entah mereka jadi direalisasikan dalam bentuk kaos angkatan atau tidak. Sudah lama gw ga menikmati sensasi 'deadline' dan excuse cantik untuk menggambar, jadi gw bersyukur untuk waktu-waktu gila yang gw lewati minggu lalu itu.

Sekarang, fokus belajar ujian! ;)

menyusun kisah untuk kasihku di kemudian hari

merapatlah, kawan
aku akan mendongeng di lini masa 

sejenak izinkan aku melupakan kicauan kalian
tentang macet yang melanda
atau kuliah yang tertunda
karena sesungguhnya kalianlah para artis utama

biar kutuangkan kata-kataku yang haus menambat
biar kugoreskan rinduku dalam bahasa
karena aku sedang menguntai cerita

ini tentang rinduku untuk menemukan
ini tentang hasratku untuk ditemukan
ini adalah kisah yang kusimpan, untuk jodohku di masa depan
agar nanti dapat kukatakan padanya:

'lihatlah apa yang kusimpan di lini masaku,
segala kata itu kusiapkan hanya untukmu
agar kau tahu
rasanya menunggu untuk mencintai, asaku menunggu untuk dicintai.'

melihat ke belakang dan mengingat

Selalu ada ketakutan setiap kali kita, manusia, dihadapkan pada suatu hal yang baru. Berkenalan dengan seseorang, atau sesuatu merupakan pisau bermata dua: membawa manfaat atau menjatuhkan kita.
Di sisi lain, gw selalu percaya bahwa seseorang itu seperti kuas. Perkenalan akan membawa banyak warna dan, tergantung dengan kuat atau tidaknya warna itu melekat, kuas itu pasti akan memiliki semburat khas karena perkenalan dan pertemuan, pengalaman dan perpisahan.

Ada beberapa perkenalan yang berkesan di hidup gw, kebanyakan berkesan karena membuka pandangan gw akan sesuatu yang baru, yang kemudian (menurut istilah gw) mengguncangkan dunia gw. Pertemuan yang sering gw kenang terjadi sekitar 5 tahun lalu, saat gw masih di bangku SMA. Gw ga begitu ingat, sih, awalnya bagaimana, yang gw ingat adalah omongannya yang pertama kali mengingat gw sebagai 'si adik kelas yang datang telat ke rapat dan mukanya seperti kelinci'. Sementara gw meningat dia sebagai 'si jangkung dengan muka sangar'. Dia memang adalah tipikal orang yang tidak simpatik buat banyak orang, dengan muka sangar dan gaya bicara yang cenderung sinis, teman - teman gw juga heran kenapa gw betah diajak ngobrol lama-lama.

Jatah ngobrol kita memang kelewatan, sekali ngobrol lewat telepon saja panjangnya bisa 4 jam lebih nonstop. Banyak hal yang bisa dibicarakan dan didiskusikan. Banyak pandangan yang gw punya merupakan modifikasi dari pandangan yang dia bagi ke gw dan banyak waktu yang dia sediakan untuk mendiskusikan topik yang kebanyakan orang bakal enggan buat membahasnya dengan anak SMA. Kita bisa mendiskusikan kejadian sehari - hari sampai ke masalah makna hidup, gaya hidup sampai ke masalah agama, urusan pacaran sampai ke masalah prinsip. Cuma sekedar curhat bisa lari sampai debat kusir yang seru kalau urusannya sama dia. Cuma cerita tentang teman bisa membuat gw terbelalak karena gw berpikir, 'oh, ternyata seperti itu toh dunia'. Memang kalau direnungkan lagi tidak semua omongannya bermanfaat, tidak semua nasihatnya pas untuk gw jalankan, tapi dia memberikan bahan pemikiran yang pada saat itu gw butuhkan untuk membentuk diri gw.

Lucunya, orangtua gw bahkan sempat jealous karena gw berubah secara mendadak dan sering membawa-bawa omongan dia ke diskusi dan tukar pikiran keluarga. Gw rasa pada saat itu gw memang agak terbawa. Bayangkan, bertemu orang baru di usia 'labil' dan diperlakukan sebagai orang dewasa. Seberapa keren rasanya? Kalau dipikir lagi, gw jadi ingin sekali bertanya apakah sebenarnya ucapan dia saat itu tentang pemikiran gw yang lebih dewasa dari usia gw itu benar, atau cuma sekadar basa - basi? Tapi, ah, rasanya tidak penting lagi. Sekarang gw mensyukuri perkenalan saat itu, lengkap dengan segala dramanya.

Dan ada satu hal yang dia tularkan ke gw dan gw syukuri, yaitu selera musiknya. Terlepas dari fakta bahwa ayah gw adalah penikmat bermacam aliran musik yang sangat antusias (koleksi lagu dari lagu lawas yang mendayu-dayu, blues, jazz, sampai heavy metal), dulu gw tidak terlalu tertarik ikutan menjajal dengar. Nah,  kebetulan dia adalah penggemar dan pemain gitar jazz, ikut salah satu komunitasnya pula saat itu. Ya, memang sih, sampai sekarang gw tetap tidak bisa 'mengerti' acid jazz atau jazz serius yang bahkan nama alirannya gw tidak tahu. Tapi dia memperkenalkan gw (awalnya menjejalkan gw) dengan penyanyi swing dan lounge, seperti Michael Bubble dan Lisa Ekhdal. Memperkenalkan gw pada lagu - lagu Kings of Convenience yang sampai sekarang membuat gw kecanduan, juga beberapa pemusik yang entah dari mana asalnya. Perkenalan waktu itu membuat gw lebih bisa menerima aliran musik yang tidak biasa dan melatih rasa penasaran gw untuk menemukan lagu - lagu yang unik.

Terima kasih, ya.
Dulu gw pernah mengucapkannya dan sekarang gw ingin mengucapkannya lagi saat melihat ke belakang dan terus melangkah di kehidupan gw, seandainya mungkin. Sudah lama gw memutuskan untuk meniadakan sebuah kejadian yang membuat gw dan dia berpencar arah untuk waktu yang lama, hanya saling bertukar kabar seadanya, tapi gw masih berpegang pada omongannya, " Apapun yang loe lakukan, gw akan tetap menjadi teman baik loe." Gw juga, sebenarnya berpikir sama, hanya belum sempat gw ucapkan. Akankah jadi janggal kalau tiba - tiba gw mengatakannya langsung, saat ini?