ayah

Dalam ruangan itu aku terduduk, mendengarkan denyut statis dari alat yang tersambung ke tubuh ayahku. Ah, dia masih hidup, namun entah untuk berapa lama lagi.

"Kamu harus ingat, untuk selamanya dialah ayahmu. Sebab tak pernah ada yang namanya mantan ayah, sama halnya seperti mantan ibu atau mantan anak. Kalian selamanya akan menjadi ayah dan anak. Kamu harus ingat itu, ya? Kamu tidak boleh membenci ayahmu."

Terngiang ucapan ibuku di sebuah senja setelah kukatakan ingin kubunuh saja ayahku. Saat itu ibu memegang lembut kedua pipiku, memaksaku menatap wajahnya yang penuh air mata. Saat itu sungguh ingin aku bertanya bagaimana caranya ia bisa bertahan setelah semua yang ayah lakukan pada kami, padanya. Bagaimana ia bisa melarangku membenci ayah setelah ayah menginjak-injak hatinya, memilih berkelana dengan wanita yang lain dan menelantarkan anak istrinya? Tapi kata-kata itu urung kuucap. Sebagai gantinya aku mengangguk pelan, kemudian ibu dan aku larut dalam sebuah peluk erat, berusaha menepis kepedihan dalam hati.

Aku menatap sosok ayahku yang terbaring di kasur nyaman rumah sakit, hari ini genap seminggu ia tak sadarkan diri sejak jatuh di kamar mandi tepat di 5 tahun berpulangnya ibu. Kenapa aku ada di sini? Aku bertanya pada diriku. Kini setelah ibu pergi, bisa saja kutinggalkan ia sendiri. Sejenak kupandang wajah ayah yang telah mengeriput renta. Ia tampak tak berdaya, kalah oleh waktu dan usia. Kemudian entah darimana aku mendapatkan jawab atas tanyaku:

Inilah cinta. Inilah cinta yang memungkinkan ibu bertahan mendampingi ayah tanpa peduli deritanya, mengorbankan diri agar aku tak menahan malu dan pilu bila ketika itu mereka berpisah. Inilah cinta yang terikat oleh darah. Inilah cinta yang sampai akhir terus memberi. Aku, seperti ibuku, tak bisa lari: kami dilahirkan begini, untuk mencintai.

No comments:

Post a Comment