melihat ke belakang dan mengingat

Selalu ada ketakutan setiap kali kita, manusia, dihadapkan pada suatu hal yang baru. Berkenalan dengan seseorang, atau sesuatu merupakan pisau bermata dua: membawa manfaat atau menjatuhkan kita.
Di sisi lain, gw selalu percaya bahwa seseorang itu seperti kuas. Perkenalan akan membawa banyak warna dan, tergantung dengan kuat atau tidaknya warna itu melekat, kuas itu pasti akan memiliki semburat khas karena perkenalan dan pertemuan, pengalaman dan perpisahan.

Ada beberapa perkenalan yang berkesan di hidup gw, kebanyakan berkesan karena membuka pandangan gw akan sesuatu yang baru, yang kemudian (menurut istilah gw) mengguncangkan dunia gw. Pertemuan yang sering gw kenang terjadi sekitar 5 tahun lalu, saat gw masih di bangku SMA. Gw ga begitu ingat, sih, awalnya bagaimana, yang gw ingat adalah omongannya yang pertama kali mengingat gw sebagai 'si adik kelas yang datang telat ke rapat dan mukanya seperti kelinci'. Sementara gw meningat dia sebagai 'si jangkung dengan muka sangar'. Dia memang adalah tipikal orang yang tidak simpatik buat banyak orang, dengan muka sangar dan gaya bicara yang cenderung sinis, teman - teman gw juga heran kenapa gw betah diajak ngobrol lama-lama.

Jatah ngobrol kita memang kelewatan, sekali ngobrol lewat telepon saja panjangnya bisa 4 jam lebih nonstop. Banyak hal yang bisa dibicarakan dan didiskusikan. Banyak pandangan yang gw punya merupakan modifikasi dari pandangan yang dia bagi ke gw dan banyak waktu yang dia sediakan untuk mendiskusikan topik yang kebanyakan orang bakal enggan buat membahasnya dengan anak SMA. Kita bisa mendiskusikan kejadian sehari - hari sampai ke masalah makna hidup, gaya hidup sampai ke masalah agama, urusan pacaran sampai ke masalah prinsip. Cuma sekedar curhat bisa lari sampai debat kusir yang seru kalau urusannya sama dia. Cuma cerita tentang teman bisa membuat gw terbelalak karena gw berpikir, 'oh, ternyata seperti itu toh dunia'. Memang kalau direnungkan lagi tidak semua omongannya bermanfaat, tidak semua nasihatnya pas untuk gw jalankan, tapi dia memberikan bahan pemikiran yang pada saat itu gw butuhkan untuk membentuk diri gw.

Lucunya, orangtua gw bahkan sempat jealous karena gw berubah secara mendadak dan sering membawa-bawa omongan dia ke diskusi dan tukar pikiran keluarga. Gw rasa pada saat itu gw memang agak terbawa. Bayangkan, bertemu orang baru di usia 'labil' dan diperlakukan sebagai orang dewasa. Seberapa keren rasanya? Kalau dipikir lagi, gw jadi ingin sekali bertanya apakah sebenarnya ucapan dia saat itu tentang pemikiran gw yang lebih dewasa dari usia gw itu benar, atau cuma sekadar basa - basi? Tapi, ah, rasanya tidak penting lagi. Sekarang gw mensyukuri perkenalan saat itu, lengkap dengan segala dramanya.

Dan ada satu hal yang dia tularkan ke gw dan gw syukuri, yaitu selera musiknya. Terlepas dari fakta bahwa ayah gw adalah penikmat bermacam aliran musik yang sangat antusias (koleksi lagu dari lagu lawas yang mendayu-dayu, blues, jazz, sampai heavy metal), dulu gw tidak terlalu tertarik ikutan menjajal dengar. Nah,  kebetulan dia adalah penggemar dan pemain gitar jazz, ikut salah satu komunitasnya pula saat itu. Ya, memang sih, sampai sekarang gw tetap tidak bisa 'mengerti' acid jazz atau jazz serius yang bahkan nama alirannya gw tidak tahu. Tapi dia memperkenalkan gw (awalnya menjejalkan gw) dengan penyanyi swing dan lounge, seperti Michael Bubble dan Lisa Ekhdal. Memperkenalkan gw pada lagu - lagu Kings of Convenience yang sampai sekarang membuat gw kecanduan, juga beberapa pemusik yang entah dari mana asalnya. Perkenalan waktu itu membuat gw lebih bisa menerima aliran musik yang tidak biasa dan melatih rasa penasaran gw untuk menemukan lagu - lagu yang unik.

Terima kasih, ya.
Dulu gw pernah mengucapkannya dan sekarang gw ingin mengucapkannya lagi saat melihat ke belakang dan terus melangkah di kehidupan gw, seandainya mungkin. Sudah lama gw memutuskan untuk meniadakan sebuah kejadian yang membuat gw dan dia berpencar arah untuk waktu yang lama, hanya saling bertukar kabar seadanya, tapi gw masih berpegang pada omongannya, " Apapun yang loe lakukan, gw akan tetap menjadi teman baik loe." Gw juga, sebenarnya berpikir sama, hanya belum sempat gw ucapkan. Akankah jadi janggal kalau tiba - tiba gw mengatakannya langsung, saat ini?

No comments:

Post a Comment