Aku memandang gerimis yang mulai turun, menetak-netak kaca mobilnya dengan manja. Sejenak pikiranku teralih. Untunglah ini sudah depan rumahku, pikirku sambil sekilas memandang pintu dari jendela tempat dudukku. Tapi aku tak juga beranjak turun. Kulihat dia menatap lurus ke depan, berusaha menghindari tatapanku yang menunggu.
"Kenapa susah sekali kau ucapkan?" ujarku, kemudian kubiarkan rintik hujan mengisi kesunyian. Dia mendesah, aku meliriknya sedang menggaruk kepala dengan tak sabar.
"Haruskah kuucapkan? Buat apa?"
Akhirnya dia angkat bicara juga.
"Supaya aku bisa berhenti mencintai. Paling tidak tolong bantulah aku sebagai seorang teman."
Dia bergerak gelisah, kulihat dia sedang menimbang-nimbang permintaanku.
Kumohon, bisikku dalam hati, katakanlah agar aku bisa beranjak pergi. Bukan hanya dari mobil ini, tapi dari perasaanku sendiri. Karena buatku cuma ada dua pilihan, biarkan aku tinggal atau berlalu. Pilihan yang egois, tapi jujur aku tak mampu lagi menjalani permainan ini.
"Aku benci sama kamu. Ah, tapi aku sebenarnya tidak mau ucapkan ini!"
Aku tersenyum simpul.
"Terima kasih," ucapku lirih.
Kubuka pintu mobil dan secepatnya bergerak menuju rumahku. Bukan gerimis yang kuhindari, gerimis tak bisa menyakitiku, aku tahu itu. Yang membuatku takut adalah mendung yang menyesakkan hati dan airmata yang tak tertahankan lagi. Ah, hujan, turunlah lebih deras dan temaniku berlari! Hari ini saja sembunyikan airmataku. Besok, aku janji aku akan tersenyum lagi karena semua akan berlalu. Ya, semua akan berlalu, seperti air mataku di dalammu.
2 comments:
Diminta untuk mengatakan membenci. sad.
"seperti air mataku di dalammu."
like that. menyembunyikan di dalam hujan.
Sedih, tapi kadang-kadang memang dibutuhkan.
Terima kasih, ya, kalimat yang itu terinspirasi quote: "All those moments will be lost in time, like tears in rain." :)
Post a Comment